Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sulawesi Selatan (Sulsel) memang punya tradisi melahirkan pesepak bola top. Sejak perserikatan dulu, siapa tak kenal nama Ramang dan Maulwi Saelan. Hingga era terkini, Sulsel tak pernah putus menyumbangkan pesepak bola papan atas.
Penulis: Ferry Tri Adi
Sebut saja Hamka Hamzah, Zulkifli Syukur, Irsyad Aras, atau Syamsul Chaeruddin.
Bahkan, untuk melanggengkan tradisi tersebut, Sulsel rutin menggelar Turnamen Sepak Bola Ajatappareng atau lebih dikenal Piala Habibie.
Turnamen yang bergulir sejak 1990 itu sudah digelar sebanyak 20 kali untuk usia di bawah 23 tahun.
Pada PON XIX Jabar 2016, Sulsel kembali menelurkan bakat-bakat emas.
Penampilan apik Asnawi Mangkualam Bahar dkk hingga meraih medali perak membuat klub-klub di Tanah Air, khususnya yang bermain di TSC 2016, melirik talenta-talenta asli Sulsel tersebut.
Terlepas dari cerita apik tersebut, ternyata manajemen tim sepak bola PON Sulsel kelimpungan menyeleksi pemain.
“Manajemen setengah mati menyeleksi pemain. Boleh dibilang kami tambal-sulam waktu itu. Banyak sekali bakat-bakat hebat dari sini. Tiap kami pindah daerah, ada saja pemain yang punya kualitas lebih bagus,” ujar manajer tim Sulsel, H. A. Erwin Solulipu.
Saking bingungnya menentukan pemain untuk tim PON Sulsel, tak semua daerah dipantau. Hanya beberapa daerah yang berhasil didatangi, semisal Palopo, Makassar, dan Gowa.
“Sebenarnya masih banyak talenta hebat di daerah-daerah lain. Hanya, belum terpantau semua. Untuk tim PON, kami memang cuma menyeleksi di beberapa daerah,” kata Erwin lagi.
Laku di Luar
Meski demikian, banjirnya bakat-bakat asal Sulsel tak “didukung” klub-klub di sana. Maksudnya, sejauh ini hanya PSM Makassar yang paling mentereng dan menjadi incaran anak-anak muda Sulsel.
Kondisi itu membuat tak semua pesepak bola muda punya kesempatan bermain buat Juku Eja.
Tentu, hal itu melahirkan tradisi baru di mana pemain muda asli Sulsel harus merantau terlebih dahulu demi menunjukkan sinarnya kepada PSM.
“Pembinaan di Sulsel boleh dibilang lancar, tapi klub di sini terbatas. Sekarang hanya PSM yang masih eksis sebagai klub top. Padahal, dulu ada Makassar Utama,” tutur Erwin.
"Situasi itu membuat pemain lokal harus bersaing dengan kawannya sendiri untuk bermain buat PSM. Oleh sebab itu, banyak dari mereka yang keluar dari Sulsel, bermain di klub lain dan kemudian baru dilirik PSM. Kebanyakan memang begitu, mereka selalu bersinar ketika merantau," ujarnya lagi.
Ya, Sulsel memang bukan Jawa Timur, di mana banyaknya bakat didukung banjirnya klub top. Apa yang terjadi saat ini seakan menegaskan hal tersebut.
Hanya Wasyiat Hasbullah, M. Fadhlan Gufran, Andri Faisal Amru, dan Mohammad Syaiful yang berhasil menembus skuat PSM, sementara talenta lain yang lahir dari PON, semisal Siswanto, M. Alia Fuad, Paldi Usman, Asnawi Mangkualam Bahar, dan Adi Setyawan kudu merantau keluar Sulsel.
“Selepas PON, manajemen PSM memang sempat berbicara kepada kami ingin mengumpulkan tim PON Sulsel buat masuk skuat PSM. Namun, lagi-lagi belum terealisasi karena kuotanya terbatas. Tak masalah juga jika mereka merantau. Toh, kalau sudah punya pengalaman, pemain pasti lebih matang dan lebih siap masuk PSM,” kata Erwin lagi.