Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti dari kata revolusi ialah perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang. Makna lainnya adalah perubahan secara radikal, terutama dalam waktu yang relatif singkat.
Penulis: Anggun Pratama
Saat ini, proses revolusi terjadi di tubuh Inter. Penunjukan Frank de Boer (FDB) sebagai pengganti Roberto Mancini menjelang Serie A 2016-2017 bergulir membuat istilah revolusi semakin cocok buat Inter.
De Boer dituntut mengangkat Inter dalam waktu singkat. Perbedaan filosofi di antara kedua pelatih juga membuat De Boer seperti harus membongkar ulang gaya permainan Inter.
Baca juga:
Mancini senang dengan permainan bergaya abrasif. Keberadaan Felipe Melo, Gary Medel, hingga Geoffrey Kondogbia seperti mencerminkan Inter yang doyan "menghancurkan" lawan.
Sebagai gambaran lain, musim lalu di Serie A dan Coppa Italia, sembilan kali pemain Inter diusir karena mengoleksi dua kartu kuning dalam satu laga. Ditambah lagi empat pemain yang mendapat kartu merah langsung.
Catatan kedisiplinan yang buruk ini menjadi sinyal Mancini ingin timnya berani melakukan duel dengan daya juang tinggi.
Di sisi lain, De Boer mau timnya bermain bergaya sedikit elegan. Idealnya, penguasaan bola tim dominan dengan penciptaan peluang tinggi.
Hanya, menerapkan ide itu tak semudah perkataannya di awal musim. Inter butuh waktu buat memahami filosofi sang pelatih.
"Waktu yang lebih akan sangat membantu, tetapi saya pikir kami memiliki sejumlah pemain berpengalaman yang bisa belajar dengan cepat," tutur De Boer diawal penunjukkannya.
Nyatanya, performa Inter dalam empat laga Serie A dan Liga Europa yang sudah berlalu belum bisa dibilang oke. Sepasang kekalahan berpadu dengan sebuah hasil imbang dan sebuah kemenangan.
Perubahan gaya bermain mulai terlihat dengan Inter selalu mencoba menjadi tim dominan. Dari empat laga tersebut, Inter selalu bisa menguasai bola di atas 60 persen.
Namun, kohesi yang belum terbentuk dengan filosofi baru plus sebuah kekurangan besar dalam tim yang membuat dominasi tersebut menjadi sia-sia.
Kekalahan 0-2 dari jawara Israel, Hapoel Be'er Sheva, di Liga Europa menunjukkan kelemahan besar Inter tersebut: mental.
"Seperti yang terjadi di Pescara, kami kehilangan arah dan ketenangan sehingga membiarkan lawan menciptakan peluang. Padahal, kami memulai laga dengan baik dan yakin bisa mencetak gol. Saya tak paham kenapa semua pemain bisa kehilangan akal setelah kebobolan," kata De Boer.
"Kita harus paham akan adanya organisasi dalam permainan dalam kondisi apapun, dan saya benar-benar tidak paham kenapa ada perubahan sikap dari para pemain usai kebobolan," katanya lagi.
De Boer bisa saja memperbaiki mental bertanding tim seiring berjalannya musim. Akan tetapi, lagi-lagi waktu tak berpihak dengannya. Akhir pekan ini Inter bakal melawan tim dengan kekuatan mental luar biasa kuat, Juventus.
Masalah besar lain, duel di Giuseppe Meazza itu kabarnya bisa menentukan masa depan De Boer di Inter. Kekalahan bisa berarti pemecatan!
Bila begitu, Inter artinya harus kembali menggelar revolusi. Lantas, apa bedanya Inter dengan Palermo?