Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Permainan keras cenderung kasar seperti sudah menjadi identitas kental Atletico Madrid. “Jati diri” Los Colchoneros ini bahkan sudah terbentang sejak era 1990-an, saat Diego Simeone masih mengomandoi lini tengah mereka.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Gaya bermain Simeone, yang kala itu gemar mengganjal lawan, juga tercermin pada permainan Atleti setelah dirinya menapak level manajerial Vicente Calderon pada paruh kedua musim 2011-2012.
Poin indisipliner yang merupakan gabungan antara raihan kartu kuning dan kartu merah tak pernah berada di bawah angka 100. Dalam lima musim bersama Simeone, secara beruntun Atleti mencatat 139, 109, 100, 124, dan 103 poin indisipliner.
Jika dijabarkan, raihannya adalah 127 kartu kuning dan 4 kartu merah di 2011-2012, 97 dan 4 (2012-2013), 94 dan 2 (2013-2014), 112 dan 4 (2014-2015), serta 94 dan 3 (2015-2016).
Simeone memang menyukai gaya bermain agresif seperti itu. Selain karena efektif dalam memenangi kembali penguasaan bola yang hilang, Atleti juga terbukti bisa menyelaraskan sikap kerasnya tersebut dengan meraih prestasi.
Lima titel, tiga di level domestik dan dua di ajang regional, adalah buktinya. Meski dihujani kritik lantaran ramainya pemain yang masuk buku hitam wasit, serta banyak pelanggaran keras yang diumbar sehingga mengakibatkan gesekan fisik, Simeone tak pernah meminta agar anak buahnya berubah.
Well, setidaknya sampai awal musim ini. Ketika memulai La Liga musim 2016-2017, gaya bermain Atleti justru benar-benar berubah. Walaupun dihuni materi yang nyaris sama, dalam dua jornada awalnya Gabi Fernandez dkk. tak lagi mempraktikkan sepak bola keras. Jumlah pelanggarannya pun tergolong fantastis, cuma 12!
Sebanyak tujuh pelanggaran dibuat pada jornada pembuka kontra Alaves, sedangkan lima sisanya di pekan berikut melawan Leganes. Saul Niguez, Diego Godin, dan Antoine Griezmann menjadi kolektor pelanggaran terbanyak dengan masing-masing mencatat dua foul.
Pimpin Eropa