Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Preview Leicester City 2016-2017: Bisa Bernasib Laksana Chelsea

By Sabtu, 13 Agustus 2016 | 14:30 WIB
Manajer Leicester City, Claudio Ranieri, bersama timnya saat berlatih di StubHub Center, Carson, California, AS, pada 29 Juli 2016. (RINGO CHIU/AFP)

Manchester City masih memegang rekor sebagai juara bertahan terburuk sepanjang sejarah lantaran langsung terdegradasi setelah meraih titel Divisi I Liga Inggris 1936/37. Namun, di era Premier League, rekor terburuk jatuh ke Chelsea menyusul posisi 10 yang diduduki musim lalu.

Penulis: Sapto Haryo Rajasa

Mungkin tak ada yang membayangkan bahwa Leicester City bakal menyamai rekor The Citizens, tapi tak sedikit yang memprediksi pasukan Claudio Ranieri akan bernasib serupa Chelsea. Bedanya, jika Chelsea terpuruk karena faktor eksternal, Leicester murni karena kualitas skuat.

Memang, 95% penghuni King Power Stadium masih wajah-wajah sama yang sukses menjuarai Premier League 2015/16. Bursa transfer musim panas ini bahkan dimanfaatkan untuk merekrut enam pemain anyar: Ron-Robert Zieler, Luis Hernandez, Nampalys Mendy, Bartosz Kapustka, Raul Uche, dan Ahmed Musa.

Akan tetapi, akuisisi bernilai total 36,5 juta euro ini harus dibayar mahal karena Leicester kehilangan N’Golo Kante. Jumlah dana yang diperoleh dari penjualan Kante ke Chelsea berada di kisaran nyaris sama, 32 juta euro. Masalahnya, apakah transaksi jual-beli ini sebanding?

"Tim ini akan meneruskan mentalitas pemenang ini, karena itulah yang kami miliki sepanjang musim kemarin." Jamie Vardy Penyerang Leicester

Secara jujur Ranieri menyebut bahwa kualitas Kante setara dua pemain. “Mungkin orang melihat musim lalu kami bermain dengan 11 pemain. Padahal, kami bermain dengan 12 pemain karena Kante memainkan dua peran sekaligus,” begitu kata Ranieri di ESPN.

Ranieri mengaku sulit untuk menakar secara pasti seberapa besar lubang yang harus ditambal sepeninggal Kante. Maklum, selain catatan impresifnya dalam bertahan sepanjang EPL musim lalu, yang ditandai rekor 125 tekel dan 156 cegatan, Kante juga punya kontribusi apik dalam membangun serangan.

Jika dibandingkan dengan statistik milik Danny Drinkwater, angka-angka Kante ini mengungguli mantan duetnya itu hingga dua dan tiga kali lipat. Bahkan jika dikombinasikan dengan statistik Andy King, pelapis apabila Kante absen, sekalipun.

Dari perspektif ofensif, Kante bertanggung jawab atas 4 assist, 26 operan kunci, hingga 30 penciptaan peluang.

Mendy-Musa

Inilah yang dimaksud Ranieri tentang kualitas setara dua pemain. Tanpa Kante, tentu arsitek tim asal Italia ini harus segera menemukan solusi di lini tervital itu.

“Kami harus mengulang segalanya dan melihat bagaimana tim ini bisa melalui laga tanpa Kante. Meski begitu, kami baik-baik saja karena saya puas dengan materi yang ada,” katanya lagi.

Dari lima pemain yang diboyong, Mendy mengantongi similaritas dengan Kante. Para pandit mengenalnya sebagai pemain yang punya kengototan ekstra, tapi juga diwarisi inteligensia tinggi dalam membaca permainan dan mendistribusikan bola.

“Kami pernah kehilangan (Esteban) Cambiasso, tapi mendapat Kante. Kini kami punya Mendy,” Claudio Ranieri.

 

 

Musim lalu di Nice, persentase operannya mencapai 94%, sedangkan total cegatannya menyentuh angka 82.

Usianya baru menginjak 24 tahun, tapi dalam empat musim terakhir, tiga bersama Nice dan satu bareng AS Monaco, Mendy nyaris tak pernah absen masuk starting XI.

“Kami pernah kehilangan (Esteban) Cambiasso, tapi mendapat Kante. Kini kami punya Mendy,” ucap Ranieri.

Satu lagi senjata baru Leicester adalah Ahmed Musa.

Eks penyerang CSKA Moskva itu langsung menunjukkan kualitas apiknya lewat dua gol ke gawang Barcelona di ajang pramusim. Kehadirannya bisa memberi opsi lain di lini depan apabila Jamie Vardy mengalami paceklik gol.

DATA KLUB

Nama: Leicester City Football Club; Julukan: The Foxes, The Blues, City, The Filberts; Berdiri: 1884; Stadion (Kapasitas): King Power Stadium (32.132); Pemilik: King Power International Group; Chairman: Vichai Srivaddhanaprabha; Situs: lcfc.com

SKUAT

KIPER: 1-Kasper Schmeichel (Den), 21-Ron-Robert Zieler (Jer), 12-Ben Hamer 28

BEK: 2-Luis Hernandez (Spa), 3-Ben Chilwell, 5-Wes Morgan (Jam), 6-Robert Huth (Jer), 13-Daniel Amartey (Gha), 17-Danny Simpson 29, 27-Marcin Wasilewski (Pol), 28-Christian Fuchs (Aut), Yohan Benalouane (Tun), Ritchie De Laet (Bel), Liam Moore

GELANDANG: 4-Danny Drinkwater, 8-Matty James, 10-Andy King (Wal), 11-Marc Albrighton, 14-Bartosz Kapustka (Pol), 15-Jeff Schlupp (Gha), 22-Demarai Gray, 24-Nampalys Mendy (Pra), 26-Riyad Mahrez (Alg), Gokhan Inler (Swi)

PENYERANG: 7-Ahmed Musa (Nig), 9-Jamie Vardy, 20-Shinji Okazaki (Jep), 23-Leonardo Ulloa (Arg), Raul Uche (Spa), Tom Lawrence (Wal)


Aksi pemain Leicester City, Riyad Mahrez, dalam laga Community Shield melawan Manchester United di Stadion Wembley, London, pada 7 Agustus 2016.(BEN HOSKINS/GETTY IMAGES)

BINTANG: RIYAD MAHREZ

Perjalanan Leicester belum benar-benar bisa tenang selama jendela transfer musim panas masih terbuka hingga 31 Agustus. Maklum, hingga momen tersebut datang, selalu terbuka ancaman bagi mereka kehilangan Riyad Mahrez, salah satu komoditas terpanas di pasar pemain.

Memang, skuat juara Leicester dibangun dari permainan solid seluruh pemainnya. Dimulai Kasper Schmeichel di bawah mistar, duet Wes Morgan dan Robert Huth di bek tengah, N’golo Kante, Danny Drinkwater, dan Mahrez di tengah, hingga Jamie Vardy di depan.

Namun, tak bisa disanggah bahwa Mahrez memegang porsi yang terbilang lebih besar. Gelar PFA Player of the Year versi pemain dan fan adalah bukti sahihnya.

Mustahil Mahrez mencaploknya jika bukan lantaran catatan berupa 17 gol, 11 assist, 56 operan kunci, 67 penciptaan peluang, hingga 131 kali melewati lawan.

Jika mengikuti Vardy dengan bertahan di King Power, Mahrez bakal kembali memegang kontribusi terbesar bagi The Foxes. Kualitasnya mungkin tak lagi berbuah pemain terbaik Premier League, tapi dalam skala yang lebih kecil.


Pelatih Leicester City, Claudio Ranieri, mendampingi tim asuhannya dalam laga Community Shield melawan Manchester United di Stadion Wembley, London, pada 7 Agustus 2016.(GLYN KIRK/AFP)

PELATIH: CLAUDIO RANIERI

Kecuali N’Golo Kante, yang hijrah ke Chelsea, komposisi tim inti Leicester praktis tak berubah. Ini memudahkan pekerjaan Claudio Ranieri. Paling tidak, ia tak perlu menjalani masa transisi, karena tinggal meneruskan apa yang dibangunnya di musim kemarin.

Nah, di musim ini Leicester ikut ambil bagian di pentas Liga Champion. Artinya, kebugaran skuatnya tak lagi optimal seperti di musim 2015/16, yang tak terganggu partai-partai tengah pekan.

Konsistensi Leicester di musim lalu murni dipengaruhi minimnya rotasi pemain. Dengan diselingi aksi di LC, minimal untuk enam partai wajib fase grup, Ranieri jelas tak bisa memakai starting XI yang itu-itu saja saat merumput di akhir pekan.

Jika pun ngotot memasang skema inti secara terusmenerus, fisik Jamie Vardy cs. sulit mencapai 100%. Selain itu, faktor mental pun berpotensi terkuras saban menderita kekalahan atau tertahan imbang di laga-laga LC.

Ranieri sendiri mengkhawatirkan mentalitas pemainnya yang mayoritas belum pernah mencicipi atmosfer LC. Sampai-sampai ia cuma mematok target 40 poin untuk EPL musim ini.


(ANDREAS JOEVI/JUARA.NET)

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P