Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Butuh kebesaran hati untuk bergabung dengan sebuah klub baru sambil menyadari bahwa dirinya cuma akan menjadi “camat” alias cadangan mati. Jangankan untuk standar megabintang, bagi pemain biasa pun bukan pekerjaan mudah guna menerima status ini.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Ada ego yang harus siap dikebiri saban gameday datang di akhir pekan atau saat matchday menghampiri di midweek.
Jika bomber inti tak bermasalah dalam menjebol gawang lawan, bagi sang "camat", partai tersebut bahkan bisa berlalu begitu saja tanpa ada kesempatan untuk menyapa si kulit bulat.
Tak pernah mudah memang.
Kendati begitu, bukan mustahil sang pemain tetap bisa menjadi idola di mata fan fanatik klub yang dibela.
Tengoklah bagaimana Ole Gunnar Solskjaer melegenda di Manchester United meski biasa masuk dari bangku cadangan.
Simak pula kontribusi ciamik Javier Chicarito Hernandez di Old Trafford meski selalu menjadi pemain pengganti.
Nama Chicharito bahkan juga mengharum di Santiago Bernabeu lantaran aksi minimnya kerap mendatangkan hasil optimal bagi Los Merengues.
Tak cuma di United atau Madrid, para "camat" yang menjelma menjadi supersub ini juga hadir di Bayern Muenchen, Sevilla, hingga Barcelona.
Muenchen punya Claudio Pizarro guna melapis Robert Lewandoski dan Mario Mandzukic.
Sevilla kerap diselamatkan oleh gol-gol Kevin Gameiro tatkala Carlos Bacca puasa gol.
Sementara itu, Barca pernah menikmati peran krusial Juan Antonio Pizzi dan Henrik Larsson sebagai supersub di masa lalu.
Di musim 1996/97, Pizzi menjadi pelapis abadi Ronaldo, tapi sukses mengemas 16 gol dan menghadirkan gelar Supercopa dan Copa del Rey.
Cromos de fútbol: Juan Antonio Pizzi temporada 97/98 con el F.C Barcelona. pic.twitter.com/EW1GPVWFdg
— El Detalle del Fútbo (@Detalle_futbol) June 26, 2014
Larsson? Tentu masih segar dalam ingatan Barcelonistas bagaimana eks Glasgow Celtic ini mengirim dua assist yang menentukan trofi Liga Champion Blaugrana pada 2005/06.
Sepanjang kariernya di Camp Nou, di bawah bayang-bayang Samuel Eto’o, Lione Messi, dan Ludovic Giuly, Larsson bahkan mencetak total 19 gol dalam 58 partai.
Di musim panas ini, perburuan Barca akan seorang supersub masih menemui jalan buntu.
Nolito, Luciano Vietto, dan Gameiro sudah memastikan penolakan, sedangkan legiun lain di Eropa seperti Carlos Bacca, atau Jonas Goncalves pun belum berhasil.
Begitu pula dengan upaya merekrut Alexandre Lacazette, Robin van Persie, dan Mario Gomez.
Karena itu, wajar apabila para petinggi The Catalans mulai membidik Amerika Selatan sebagai destinasi pencarian berikut.
Setidaknya, inilah pengakuan Robert Fernandez, Direktur Olahraga Barca yang memilih berburu penyerang di seberang Samudra Atlantik alih-alih menemani Messi dkk berlatih di St Georges’ Park.
Belum ada calon resmi, selain Gabigol yang sempat disebut-sebut bakal direkrut di awal musim panas.
Sama seperti yang dirasakan para "camat", Fernandez pun tak mudah meyakinkan mereka untuk bergabung sebagai D’Artagnan sebagai deputi bagi Three Musketeer: Messi, Luis Suarez, dan Neymar.
Tak perlu muda, pemain tua seperti Larsson atau Chicharito pun terbukti masih bisa memberi dampak positif.