Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Ada alasan mengapa di panggung sepak bola dikenal sebutan siklus tiga tahunan. Bukan semata karena secara implisit Bela Guttmann pernah mengemukakan pendapat ini, tapi sejarah juga membuktikan bahwa hanya segelintir pelatih yang bisa melalui tahun ketiga dengan rapor cemerlang.
Publik mungkin lebih mengenal lelaki Hungaria ini sebagai sosok yang mengutuk Benfica pada awal tahun 1960-an, lantaran klub Portugal itu ogah menaikkan gajinya.
Hingga sekarang, kutukan Guttmann mungkin menjadi penyesalan terbesar Benfica karena mereka terbukti gagal meraih gelar di kompetisi antarklub Eropa meski delapan kali menembus final. Namun, yang kerap hilang saban kali nama Guttmann mencuat adalah pandangan dirinya tentang sulitnya menjaga konsistensi hingga musim ketiga. Menurut Guttmann, sebagus-bagusnya materi skuat, mereka tetap akan kehilangan pegangan begitu menginjak musim ketiga.
Mungkin hanya Sir Alex Ferguson yang berhasil melewati periode krusial ini bersama Manchester United. Tak sebatas tiga musim, tapi Fergie sukses mempertahankan ritme tinggi Red Devils selama belasan tahun.
Pep Guardiola juga layak masuk kategori pelatih yang mampu melakoninya. Raihan 14 trofi dalam empat musim bersama Barcelona adalah bukti sahihnya.
Musim ketiga merepresentasikan sebuah momen di mana metode tim berada pada titik statis. Metode tak lagi bisa dikembangkan, suara pelatih sudah tak lagi didengar seantusias sebelumnya, dan lawan sudah mendapatkan penawar dari strategi yang selama ini begitu sulit dipatahkan.
Fergie di United, dan Pep di Barca, berhasil mengakali “kejenuhan” tersebut. Salah satu opsi adalah dengan memperbarui materi skuat. Jika United secara berurutan mengakuisisi Eric Cantona, Andy Cole, Dwight Yorke, Ruud van Nistelrooy, Cristiano Ronaldo, Wayne Rooney, Dimitar Berbatov, hingga Robin van Persie, Pep merekrut Zlatan Ibrahimovic, David Villa, Cesc Fabregas dan Alexis Sanchez.
Garis merah dari kesuksesan Fergie dan Pep adalah perekrutan paten di lantai bursa transfer. Masuknya wajah-wajah anyar memberi alternatif pilihan untuk mengubah gaya bermain sehingga membuat lawan terus berada dalam posisi mengejar.
Strategi Baru
Setelah dua musim berturut-turut menuai kesuksesan bersama Barcelona, Luis Enrique kini menginjak musim ketiga sebagai nakhoda Camp Nou. Wajar apabila kini publik mempertanyakan kelanjutan kisah El Lucho di musim ketiganya.
Bermodalkan Lionel Messi, Luis Suarez, dan Neymar, cukup masuk akal bila Enrique diyakini bakal meneruskan kejayaan Blaugrana, yang meraih tujuh dari sembilan gelar maksimal dalam dua tahun ke belakang.
Benar bahwa Barca hanya tersandung di perempat final Liga Champions dan Supercopa de Espana serta meraih trofi La Liga, Copa del Rey, Piala Dunia Klub, dan Piala Super Eropa. Namun, harus diakui perjalanan Messi cs menuju gelar-gelar ini tak semulus musim pertama Enrique.
Titik-titik lemah mulai tampak jelas. Barca tak punya kedalaman skuat yang mumpuni, terutama di posisi-posisi krusial. Kelelahan pemain bisa dibaca dengan nyata. Karena itu, bisa dimaklumi jika klub bergerak cepat pada bursa transfer musim panas ini dengan merekrut Samuel Umtiti, Lucas Digne, Denis Suarez, dan Andre Gomes.
Barca bahkan masih mencari tambahan satu pemain lagi di sektor penggedor. Upaya mereka terus mendapat ganjalan ketika Nolito, Luciano Vietto, dan Kevin Gameiro satu per satu berbelok arah.
Kendati merekrut empat pemain dan masih mengincar satu lagi, delapan pos dalam komposisi starting XI belum berubah. Messi, Suarez, dan Neymar masih menghuni trisula terdepan, Andres Iniesta, Sergio Busquets, dan Ivan Rakitic tetap memimpin lini tengah, sedangkan Gerard Pique, Jordi Alba, dan Javier Mascherano masih bercokol di belakang.
Persaingan praktis hanya tersisa di dua posisi. Pos kiper diperebutkan Marc-Andre ters Stegen dan Claudio Bravo, sedangkan satu slot di bek kanan menjadi tempat bertempurnya Aleix Vidal dan Digne.
Dengan komposisi serupa musim lalu, lawan bisa lebih mudah menerapkan strategi kontra. Artinya, Enrique harus menemukan aplikasi baru dan segera menerapkannya sejak laga perdana pada 14 Agustus kontra Sevilla di leg I Supercopa.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa