Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Bentrokan antarsuporter dengan gaya "kucing-kucingan" masih menjadi problem di Indonesian Soccer Championship (ISC) B. Para suporter klub di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta misalnya, masih gemar menghadang suporter lawan sebelum dan sesudah menyaksikan pertandingan.
Penulis: Persiana Galih/Gonang Susatyo
Menurut catatan BOLA, dalam dua tahun terakhir, sedikitnya terdapat tiga kali aksi kucing-kucingan antarsuporter di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Pertama, saat kompetisi Divisi Utama 2014 digelar, Minggu malam, 12 Oktober 2014.
Kelompok pendukung PSCS Cilacap, Laskar Nusakambangan Mania, dicegat pendukung PSS Sleman, Brigata Curva Sud (BCS), di Jalan Laksda Adisutjipto.
Aksi tersebut mengakibatkan satu orang tewas.
Insiden serupa terulang di turnamen ISC B 2016. Pada Minggu lalu, di Jalan Magelang KM 14, Triharjo, Sleman, BCS menghadang suporter PSIM Yogyakarta, Brajamusti.
Tapi, bentrokan kedua suporter dari tim yang bertetanggaan ini justru membuat salah satu anggota BCS tewas.
Peristiwa terakhir dilakukan oleh Brajamusti. Kali ini, mereka mencegat suporter Pasoepati, kelompok suporter Persis, yang baru pulang dari Purwokerto.
Beruntung, insiden itu tak menimbulkan korban nyawa, meski seorang anggota Pasoepati menderita luka di bagian kepala.
Yogyakarta, Solo, dan Semarang memang unik. Ada yang bermusuhan, tapi ada pula yang berjalan harmonis. Brajamusti pernah ribut dengan Slemania, pendukung PSS Sleman.
Belakangan hubungan tersebut membaik, meski sesudahnya mereka justru bersitegang dengan suporter PSS yang lain, BCS.
BCS sendiri bermusuhan dengan Pasoepati.
Ironisnya, hubungan Pasoepati dengan Brajamusti juga tak harmonis.
Sebaliknya, suporter PSIS Semarang, Panser Biru dan Snex, punya hubungan baik dengan suporter Solo dan Yogyakarta. Tak heran mereka sering kedatangan suporter lawan dari wilayah selatan.
Wakil Presiden DPP Pasoepati, Ginda Ferachtriawan, mengusulkan agar suporter di Jawa Tengah dan Yogyakarta selalu berkoordinasi dengan aparat keamanan sebelum melintasi daerah rawan kericuhan.
“Persoalannya, suporter tak punya hubungan dekat dengan kepolisian. Bahkan, suporter tak punya kontak polisi sehingga tidak bisa menghubungi dan berkoordinasi untuk minta pengawalan,” katanya.
Sebenarnya, dengan berkoordinasi, lanjut Ginda, aparat bisa mencegah terjadinya bentrokan. Jika hal itu dirasa tak mungkin, aparat pun bisa membantu suporter untuk menjelaskan jalan alternatif yang aman dilintasi.
[video]https://video.kompas.com/e/5044135703001_v1_pjuara[/video]