Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Dalam wawancara dengan ESPN awal bulan lalu, Pele mengungkapkan kekhawatiran soal penurunan kualitas sepak bola Brasil. Hanya, ketika itu ia masih menyimpan harapan.
Penulis: Andrew Sihombing
Mungkin pada musim panas ini di Olimpiade atau Copa America, kami bisa kembali mengingatkan dunia akan bagaimana sebenarnya Brasil bermain bola," ucap pemenang tiga gelar Piala Dunia tersebut.
Kalimat itu terdengar lirih karena benak sang legenda tengah memutar ulang rekaman peristiwa Sete a Um.
Tidak perlu menggaruk-garuk kepala mendengar istilah tersebut.
Anda mungkin lebih mengenalnya dengan istilah Mineirazo (Tamparan Mineirao), yakni salah satu kekalahan paling mengerikan dengan skor 1-7 yang dialami Selecao pada babak perempat final Piala Dunia 2014 kontra Jerman di Stadion Mineirao.
"Hanya membicarakannya sudah membuat saya sedih. Saya menangis melihat pertandingan itu. Tidak hanya karena skornya. Saya menangis karena tidak tahu apa yang terjadi dengan keindahan sepak bola Brasil," ucap Pele.
Tidak Pantas
Hati Pele kini pastinya semakin hancur. Minggu (12/6/2016), langkah Brasil asuhan Dunga dipastikan terhenti di fase grup Copa America Centenario akibat kekalahan mengejutkan 0-1 versus Peru.
Brasil finis di peringkat ketiga Grup B dengan koleksi 4 poin.
Inilah kali kedua Brasil gagal melangkah ke fase knock-out setelah terakhir kali pada 1987.
Hasil buruk ini kian menggemakan tuntutan pemecatan terhadap Dunga. Mantan kapten timnas Brasil saat memenangi Piala Dunia 2014 itu dinilai tidak pantas, bahkan sejujurnya tidak pernah pantas, menempati posisi sebagai pelatih timnas.
Setelah mempersembahkan Copa America 2007 dan Piala Konfederasi 2009, kiprah lelaki bernama lengkap Carlos Caetano Bledorn Verri ini sebagai arsitek timnas Brasil dipenuhi kegagalan.
Ia dikritik karena mencoret Alexandre Pato dan Neymar di PD 2010 lantas dipecat selepas turnamen karena hanya membawa Selecao ke delapan besar.
Yang membuat cercaan kian hebat tak lain karena hilangnya karakter jogo bonito alias permainan cantik khas Brasil.
Selepas ditunjuk kembali sebagai arsitek timnas pada medio Juli 2014, Dunga gagal di Copa America setahun berselang dengan cuma mencapai perempat final.
Pelatih kawakan Adenor Leonardo Bacchi alias Tite diyakini bakal menggantikan posisi Dunga.
Ginga
Kendati demikian, sebagian kalangan meyakini bahwa pergantian nakhoda timnas bukan jawaban bagi derita Brasil belakangan.
Dunga hanyalah bagian kecil dari kekacauan masif sepak bola Negeri Samba.
CBF misalnya, masih berkutat dengan skandal korupsi FIFA.
Presiden CBF, Marco Polo Del Nero, bahkan tak berani mendampingi timnas ke luar negeri karena takut diperiksa oleh FBI.
Del Nero lantas mengajukan cuti pada awal Januari dan menunjuk Antonio Nunes sebagai pelaksana tugasnya.
"Ya Tuhan, bagaimana mungkin Brasil tidak bisa menghasilkan penyerang tengah yang haus gol lagi," ucap Rivelino.
Otoritas sepak bola Brasil ini juga sudah lama mengabaikan pembinaan dan regenerasi pemain.
Beberapa waktu lalu contohnya, legenda sekelas Rivelino mengeluhkan penurunan kualitas pemain depan setelah melihat tak satu pun striker Brasil bisa menjadi top scorer di lima liga utama Eropa sejak musim 2008/09.
"Ya Tuhan, bagaimana mungkin Brasil tidak bisa menghasilkan penyerang tengah yang haus gol lagi," ucap bagian timnas saat memenangi PD 1970 itu.
Keheranan Rivelino bukan tanpa alasan.
Ia dulu pernah berbagi peran sebagai pencetak gol bersama Pele-Gerson-Tostao di PD 1970. Begitu pula di PD 2002 ketika Ronaldo-Ronaldinho-Rivaldo menjadi trio mematikan.
Namun, kini, selepas si gigi tonggos Ronaldo serta Adriano, posisi nomor 9 Brasil "hanya" ditempati oleh nama-nama sekelas Luis Fabiano, Fred, Diego Tardelli, dan kini Jonas Goncalves serta bocah berusia 19 tahun, Gabriel Barbosa, di Copa America Centenario.
Dua nama terakhir jelas gagal menggantikan peran Neymar, yang disiapkan untuk Olimpiade Rio, sebagai pendulang gol.
Baca Juga:
Bersama Argentina, yang hingga tenggat cetak baru melakoni dua partai, Brasil memang menjadi tim tersubur di fase grup Copa America dengan 7 gol. Namun, ketujuh gol itu diciptakan hanya dalam pertandingan menghadapi Haiti.
Dua partai lain, yakni kontra Ekuador dan Peru, disudahi tanpa kuasa menjebol gawang lawan.
Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri, begitu pula buat Selecao.
Syaratnya, sebagaimana diingatkan Pele, Brasil harus kembali pada ginga alias kebebasan berekspresi bagi setiap individu di lapangan, yang memang menjadi jati diri sepak bola mereka.
Saat bertemu dengan BOLA di final Liga Champions 2014/15 di Berlin, sejumlah wartawan Negeri Samba yang mengintili kiprah Neymar bersama Barcelona menyebut Brasil kini krisis seniman sepak bola karena klub-klub lokal lebih mengutamakan pemain dengan kedisiplinan taktik demi memenuhi standar klub Eropa sebagai pembeli potensial.
Berubahlah, Brasil!