Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Bom, Mogok, Banjir. Selamat Datang di Paris!

By Sabtu, 4 Juni 2016 | 17:44 WIB
papan pengumuman yang berisi penutupan Museum Louvre dikarenakan meluapnya sungai Seine. (JOEL SAGET/AFP PHOTO)

Perjalanan saya meliput Euro 2016 dimulai pada Kamis (2/6/2016). Hari itu saya bertolak ke Prancis menggunakan maskapai penerbangan asal Turki yang menjadi sponsor utama pergelaran sepak bola terakbar Eropa itu.

Laporan Sem Bagaskara dari Paris, Prancis

“Beef or chicken, Sir? (Daging sapi atau ayam?),” tanya pramugari pesawat dengan ramah ketika menawarkan makan malam.

Saya mengambil menu daging sapi. Tiba-tiba suasana menjadi sedikit kaku ketika penumpang di seberang kiri saya tak memilih satu pun opsi yang ditawarkan sang pramugari.

Ia menginginkan menu khusus, yakni makan malam bebas gula.

Permintaan segera ditolak oleh pramugari pesawat yang lantas mengatakan bahwa kudapan semacam itu seharusnya dipesan jauh sebelum jam makan malam tiba.

Jalan tengah akhirnya ditempuh. Penumpang yang “rewel” tersebut menepikan nasi beserta ayam dan cuma memakan hidangan salad.

Sebuah celetukan menarik dikeluarkan oleh pria yang duduk persis di samping kanan saya. “Welcome to Europe my friend,” kata pria bernama Manuel itu kepada saya.

Manuel tahu betul karakter orang Eropa mengingat ia berpaspor Malta. Tetapi, ia juga sangat memahami rasa ketertarikan saya kepada “masalah” kecil di pesawat itu.

Sebagai orang Jawa, ajaran untuk nrima dan tak banyak protes sangat akrab di telinga saya.

Budaya tersebut tak asing bagi Manuel yang sudah dua tahun hidup di Indonesia.

Ia bekerja sebagai pilot Garuda Indonesia dan sangat merindukan masa-masa ditugaskan di rute penerbangan domestik.

“Saya kangen masa-masa itu. Dalam satu hari saya bisa melihat kultur sekaligus makanan lezat berbeda di Indonesia,” tutur Manuel.

Kembali ke penumpang seberang kiri saya yang rewel tadi. Debat dengan pramugari bukanlah satu-satunya gangguan malam itu.

Usai makan malam, saya mendengarkan “bom” meledak beberapa kali dari arah kiri saya, diikuti dengan bau yang menyengat.

“Apakah ini balasan dari sang penumpang rewel karena ia tahu saya dan Manuel membicarakan dirinya,” begitu gumam saya.

Sambutan yang kurang menyenangkan ternyata tak cuma terjadi kepada saya, tapi juga pesta sepak bola Euro 2016 yang hanya tinggal dalam hitungan hari.

Ketika saya menginjakkan kaki di Prancis pada 3 Juni, salah satu operator kereta api Negeri Mode, SNCF, tengah melangsungkan aksi mogok.

Pengemudi taksi Prancis juga berniat tak beroperasi selama Euro 2016.

Aksi-aksi tersebut merupakan bentuk tentangan terhadap rancangan undang-undang ketenagakerjaan baru yang mereka anggap merugikan.

Sambutan kepada Euro 2016 terasa kian tak menyenangkan karena jantung Prancis, Paris, dilanda banjir.

Bahkan, Musee du Louvre, museum berbentuk piramida yang biasanya menyedot atensi pengunjung, terpaksa tutup pada 3 Juni.

Namun, saya yakin serangkaian kejadian tadi tak akan banyak mengganggu persiapan Prancis sebagai tuan rumah.

Ahli semiotika Prancis, Roland Barthes, pernah bilang bahwa Paris n’a pas été inondé (Paris tidak kebanjiran).

Barthes mengatakan bahwa banjir besar yang melanda ibu kota Prancis pada Januari 1955 lebih merupakan perayaan ketimbang malapetaka.

Publik Prancis kala itu dibuat terhibur oleh berbagai pemandangan baru seperti mobil-mobil yang cuma kelihatan atapnya saja, kucing yang berharihari tak turun dari pohon, atau lampu jalan yang mendadak pendek karena tertutup air layaknya bunga bakung.

Karena itu, publik Prancis kini harus tetap menganggap banjir sebagai bagian dari perayaan besar.

Pesta bernama Euro 2016.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P