Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Fenomena Sugar Daddy di Sepak Bola Indonesia, Sampai Kapan Kuat Mendanai Klub?

By Jumat, 22 April 2016 | 14:32 WIB
Pemain-pemain Madura United saat mengikuti latihan di Lapangan Agrokusuma Batu, Jawa Timur, (14/04/2016). (SUCI RAHAYU/DOK TABLOID BOLA)

Akhir bulan lalu, Persiba Balikpapan sempat berniat tidak ambil bagian dalam Kejuaraan Sepak Bola Torabika (TSC).

Penulis: Andrew S./Yan D./Gonang S.

Namun, tak lama berselang, keputusan itu berubah. Tim Beruang Madu dipastikan tampil di TSC A.

Kepastian tersebut ditegaskan Direktur Utama PT Gelora Trisula Semesta, Joko Driyono, selepas launching TSC di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Senin (18/4/2016).

"Persiba sebelumnya menyusun bujet 15-16 miliar. Mereka angkat tangan tidak bisa memenuhinya. PT GTS kemudian melakukan pendampingan untuk merevisi bujet hingga kemudian didapat angka 9-10 miliar dan Persiba bisa berjalan dengan anggaran seperti itu," kata Joko.

Tentu sah saja bila mantan Sekretaris Jenderal PSSI ini berkata demikian. Tapi, dalam beberapa kesempatan berbincang dengan Tabloid BOLA, ternyata ada penyebab lain.

Syahril Taher, sang pemilik Persiba, sudah sampai pada titik jenuh mengurus tim kebanggaan masyarakat Balikpapan ini.

Eks Presiden Direktur PT Liga tersebut juga disibukkan urusan lain, termasuk soal keluarga dan beberapa proyek yang terbengkalai.

"Kalau ada yang bisa menggantikan, saya lebih memilih menyerahkan urusan Persiba ke yang lain. Tapi, ternyata tidak bisa karena semua bergantung pada saya," ujarnya.

Kontribusi hebat Syahril buat Persiba tak bisa dibantah, terutama dari sisi pendanaan.

Sejak Beruang Madu promosi ke Divisi Utama pada 2003/04, termasuk ketika merambah ke Liga Super sejak 2006/07, Syahril bisa menghabiskan hingga 12 miliar rupiah per tahun untuk menghidupi tim.

Kehadiran sosok penentu hidup-mati tim bukan hal asing di sepak bola Indonesia. Masih banyak syahril-syahril lain di Tanah Air.

Sugar daddy, begitu orang Barat menyebut mereka. Istilah ini aslinya merujuk pada lelaki yang memberi bantuan, biasanya berbentuk finansial dan material, kepada perempuan muda.

Dalam konteks sepak bola, sugar daddy merujuk pada sosok yang siap menggelontorkan fulus dari kocek pribadi untuk membesarkan klub.


CEO Arema, Iwan Budianto. (Dok.weareamania.net)

Iwan Budianto, misalnya, kerap mengeluarkan uang pribadi untuk keperluan Arema, terutama di masa-masa Singo Edan kesulitan mendapatkan sponsor.

"Dulu pengeluaran pribadi saya bisa mencapai 50 persen, sekarang mungkin maksimal 20 persen dari kebutuhan tim setiap musim," ucapnya.

Idham Samawi juga pernah menjalankan peran serupa.

Saat menjadi Ketua Umum PSIM, Idham pernah melepas tanah seluas 3.000 meter persegi miliknya, dua rumah yang masing-masing berharga 600 juta, dan perhiasan istri demi mencukupi kebutuhan tim.

Ketika itu, pemda hanya memberi subsidi sebesar 20 juta rupiah.

Bergeser ke era kekinian, penikmat bal-balan nasional tentu familiar dengan Nabil Husein.

Anak dari pengusaha batubara Said Amin ini membeli PBFC di awal 2014 dan terus membiayai Pesut Etam dengan uang pribadi hingga sekarang.

Jangan lupakan keberadaan Achsanul Qosasi sebagai tokoh di balik kebangkitan Madura United. Orang inilah yang berperan besar mendatangkan pemain-pemain bernama besar seperti Fabiano Beltrame, Toni Mossi, Bayu Gatra, hingga Gerald Pangkali.

Saat ditanyai sudah berapa banyak fulus yang mengalir dari koceknya, Achsanul tak bersedia menyebut angka.

"Kalau dasarnya mungkin karena cinta bola, kalau sudah bicara cinta atau kesenangan, tidak dapat dinilai dengan uang. Uang sudah tidak bisa menjadi ukuran lagi," tuturnya.

"Kalau soal nominal yang saya keluarkan, saya tidak bisa ungkap. Selain uang pribadi, ada saja kolega yang membantu berinvestasi," lanjutnya.

Fenomena sugar daddy dalam sepak bola tidak hanya di Indonesia.

Bahkan kompetisi setenar dan serapi Liga Inggris saja dihiasi sosok-sosok semacam Roman Abramovich di Chelsea atau Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, sang pemilik Abu Dhabi United Group and Investment, bersama Manchester City.

Kedua klub ini belakangan menjadi raksasa Inggris serta Eropa berkat gelontoran uang berlimpah dari pemiliknya.


Pemilik City Football Group, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, melambaikan tangannya saat berada di Stadion Etihad. (digitalsport.co)

 

Namun, tidak selamanya kehadiran pemilik kaya nan royal berujung pada cerita indah.

Portsmouth, misalnya, beberapa kali berganti pemilik yang menyuntikkan jutaan euro, tapi beberapa kali pula akhirnya tak terurus dengan baik dan mengalami dua kali kebangkrutan dalam periode tiga tahun.

Bergeser ke Eropa Timur, Anzhi Makachkala pernah tiba-tiba menjelma bak klub raksasa dan mendatangkan pemain bintang sekelas Roberto Carlos, Balazs Dzsudzsak, Samuel Eto'o, serta pelatih Guus Hiddink setelah dibeli oleh Suleyman Kerimov pada 2011.

Hanya dua setengah tahun berselang, Kerimov memangkas bujet klub hingga sepertiga dan perjalanan Anzhi menuju titik nadir berawal di situ.

Bagaimana dengan Indonesia? Mungkinkah potensi bahaya itu bisa terealisasi?

"Saya tidak bisa mengatakan hal ini bagus atau tidak bagus. Tentu harus dilihat bahwa tengah terjadi perubahan di beberapa klub, yang tadinya private owned club kini menjadi public owned club atau dimiliki beberapa investor," ujar Joko Driyono.

"Setiap klub harus bisa mentransformasi diri menjadi lebih profesional dan lebih baik dalam melakukan rasionalisasi pembiayaan," lanjutnya.

Hanya, lain lagi peringatan yang disampaikan eks pelatih timnas Primavera, Danurwindo, mengenai ancaman yang dihadapi klub bila bergantung pada individu tertentu.

"Memangnya sampai kapan dia (donatur klub) kuat? Itu jawabannya" kata Danurwindo.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P