Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Mungkin, PSSI sejak dulu tak mampu atau bisa membuat kurikulum tapi tak disebarkan karena hanya menggugurkan kewajiban.
Padahal dengan masalah itu, solusinya gampang. PSSI kan punya uang, rekrut saja direktur teknik yang kompeten atau semacam penilik sekolah.
Si pemilik sekolah ini adalah manusia yang berkompeten di pembinaan dan tentu memiliki catatan bagus dari FIFA. Semacam Peter Huistra pada beberapa tahun lalu.
Tetapi, tugas Pieter Huistra jangan diutak-atik, karena beliau fokus dalam pembinaan keseluruhan.
Bukan diserahi tugas melatih timnas gara-gara skuat Garuda tak punya pelatih.
Si penilik sekolah ini harus punya program yang dipresentasikan dan PSSI sangat kompromi dengan program yang sudah disetujui itu.
Selama ini, konsep sederhana ini tak pernah ada. Bahkan liga-ligaan kelompok usia dini dan remaja saja, masing-masing pembuatnya (baca operator) tidak jelas aturannya.
Liga A dan Liga B atau Liga X, tak saling berkoordinasi dan para pemain muda ini ’dipaksa’ main di dua liga dengan tekanan nyaris sama dengan pesepak bola pro.
Padahal, bocah-bocah ini selepas Minggu main dengan SSb-nya, pada Senin keesokan harinya harus sekolah di sekolah formal.
Semua akan beda kalau ada sistem jelas dari PSSI dan si penilik sekolah ini yang berperan.
Tentu, si penilik sekolah ini punya kaki tangah atau anak buah yang berada dalam sistemnya.
Tetapi, para anak buah si penilik sekolah ini direkrut bukan karena dia bekas wartawan PSSI atau orang yang dekat dengan petinggi hingga cukong PSSI.
Mereka itu adalah orang-orang yang paham bidangnya.