Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Unggul poin hingga dua digit rasanya cukup untuk menggambarkan sebuah dominasi mutlak. Ketika surplus tersebut melibatkan dua rival abadi, sangat bisa dimaklumi apabila kubu tim yang unggul berani memandang sebelah mata kubu tim yang tertinggal.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Setelah melewati 30 jornada di La Liga 2015-2016, FC Barcelona telah menciptakan jarak 10 angka atas Real Madrid.
Jurang lebih besar di antara dua penguasa Negeri Matador ini memang pernah terjadi sebelumnya.
Barca sempat merasakan jarak hingga 16 poin di medio musim 2012-2013, sebelum menutup musim dengan selisih 15 angka dari Madrid.
Pada 2005-2006 pun Barca sempat menjauh hingga 10 poin, sebelum menjuarai La Liga dengan keunggulan 11 angka atas sang musuh bebuyutan.
Sebaliknya, Madrid juga pernah mengantongi superioritas semodel ini. Bahkan dengan keunggulan hingga 19 poin.
Ini terjadi pada musim 2002-2003, yang akhirnya dijuarai Los Blancos dengan jarak 22 poin atas Barca, yang kala itu duduk di peringkat keenam.
"Real Madrid akan memberi kejutan untuk Barcelona."
Javier Tebas, Presiden La Liga
Terakhir kali Madrid merasakannya pada 2011-2012, tatkala jarak 10 poin di medio musim berakhir dengan surplus 9 angka pada saat keduanya melintasi garis finis kompetisi.
Keunggulan poin mutlak lazimnya selaras dengan dominasi mutlak pada saat kedua tim bentrok di atas lapangan.
Namun, faktanya justru terbalik. Madrid mencatat satu menang dan satu seri di laga el clasico pada saat mengantongi jarak poin lebar tersebut.
Barcelona malah lebih parah. Dari tiga situasi di mana mereka memiliki superioritas poin hingga dua digit atas Madrid, Blaugrana justru tak pernah bisa memenangi el clasico. Rekor mereka adalah satu seri dan dua kali kalah.
“Real Madrid akan memberi kejutan. Persis seperti ketika saya mengatakan bahwa Barcelona akan memenangi el clasico di Santiago Bernabeu (pertemuan pertama),” begitu kata Javier Tebas, Presiden LFP, saat muncul di akun periscope Josep Pederol, salah satu jurnalis televisi Spanyol.
Terlepas dari fakta bahwa hasil akhir el clasico tak pernah mudah untuk ditebak, tapi ada penjelasan sederhana dari ketidakmampuan memenangi laga di saat unggul poin jauh.
Ada seperti privilise bagi tim yang unggul poin jauh untuk “melepas” laga karena hasilnya tak memengaruhi permutasi di klasemen.
Ketimbang tampil habis-habisan dan tetap kalah, tim yang unggul bisa memfokuskan diri untuk menekan pedal gas dalam-dalam di laga-laga setelah el clasico.
Toh poinnya sama-sama tiga, siapa pun lawan yang dikalahkan. Apalagi jika tim juga punya kepentingan lain di panggung Eropa, beberapa hari setelahnya.
Saat masih melatih Barca pada awal 1990-an, mendiang Johan Cruyff pernah mengatakan bahwa dirinya tak mempermasalahkan kekalahan di el clasico selama titel juara tetap jatuh ke Barcelona.
Cruyff sendiri sempat merasakan hal tersebut saat Barca takluk dari Madrid di musim 1990-1991, meski kala itu Barca unggul 13 poin atas Los Merengues.
Sebelum menjamu Real Madrid di Camp Nou, akhir pekan ini, tentu menarik untuk mengingat kembali kondisi seperti yang dimaksud.