Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Selama bertahun-tahun, Emmanuel Petit menolak membicarakan kematian sang kakak, Olivier, pada April 1988. Namun dalam wawancara dengan stasiun radio Off The Ball pekan ini, mantan pesepak bola Prancis yang pernah sukses bersama Arsenal tersebut bersedia membagi kisah tersebut yang hampir membuatnya mengalami depresi.
Olivier adalah tokoh panutan bagi Petit. Olivier meninggal dunia karena ada penyumbatan darah pada otak saat membela tim amatir, Arques.
Kala itu, Emmanuel Petit masih menimba ilmu di akademi sepak bola milik AS Monaco.
"Dahulu, saya memiliki buku harian. Menulis di buku harian menjadi kebiasaan saya setelah kehilangan kakak saya di lapangan," ungkap Petit seperti dilansir Dailymail.
"Semasa berada di akademi, saya kehilangan kakek dan sahabat saya hanya dalam waktu dua tahun," lanjutnya.
Namun karena tuntutan profesi, Petit berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Pada usia 14 atau 15 tahun, Anda sudah bermain untuk masa depan. Anda berada di dunia para pria, tetapi sesungguhnya Anda hanyalah anak kecil. Anda harus berpura-pura menjadi seorang pria dalam menghadapi kematian serta hal-hal buruk," tutur Petit.
"Pada usia tersebut, saya harus hidup layaknya seorang pria. Akan tetapi saya sesungguhnya bukan pria dewasa dan segalanya terasa sangat menyakitkan," imbuhnya.
Petit semakin sedih ketika melihat kedua orang tuanya berkabung. Ia bahkan nyaris memutuskan untuk berhenti berkarier dari sepak bola.
"Ayah dan ibu berada di Monaco saat kakak saya meninggal. Untuk pertama dan terakhir kalinya, saya melihat ayah membenturkan kepalanya ke tembok," kata Petit.
Namun Petit mengurungkan niatnya. Kerja keras menjadikan Petit sebagai salah satu pesepak bola tersukses asal Prancis.
Petit sempat membela Monaco, Arsenal, Barcelona, dan Chelsea. Ia juga berhasil mengangkat trofi Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 bersama tim nasional Prancis.