Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sepak bola tidak pernah mendapatkan tempat spesial di China. Sekalipun David Beckham berkunjung ke Beijing pada Maret 2013, publik masih ada yang mencela.
Sebuah pertanyaan besar tertuju kepada Beckham yang ditunjuk sebagai duta sepak bola Negeri Tirai Bambu.
Untuk apa Beckham memperkenalkan sepak bola di sana? Bukankah China dikenal sebagai leluhur si kulit bundar? Di sana, masyarakat telah memainkan bola dengan sebutan tsu chu sejak 206 SM.
Pengalaman aneh dirasakan mantan bintang Manchester United tersebut. Beijing Shi-Jia Primary menjadi sekolah pertama yang dikunjungi Beckham, Namun, menurut Guardian, sekolah tersebut tak mengizinkan murid-muridnya bermain sepak bola.
Kejanggalan ini coba dijelaskan oleh Ma Dexing selaku Pemimpin Redaksi Titan Sports, media olahraga populer di China. Bagi sebagian besar orang tua, sepak bola adalah kegiatan berbahaya.
"Mereka hanya meminta anak-anak bermain sepak bola saat ada tamu penting datang. Setelah tamu pergi, mereka tidak melakukan apa-apa," kata Ma Dexing.
Minimnya minat anak muda terhadap sepak bola turut dirasakan Sven-Goran Eriksson, ketika ditunjuk sebagai pelatih Guangzhou R&F tiga bulan setelah kedatangan Beckham. Dia mengaku heran melihat lahan kosong di China.
"Mereka tidak bermain sepak bola seperti yang dilakukan anak muda Manchester atau London di lapangan parkir. Ini masalah China. Tidak ada level akar rumput," tutur mantan pelatih tim nasional Inggris ini.
Jangankan membicarakan minat anak muda China untuk sepak bola. Bahkan, dikatakan pelatih asal Amerika Serikat, Trevor Lamb, sepak bola seperti monster di sana.
Lamb sempat memberikan pembinaan usia dini di klub semiprofesional China, Sinobal, selama dua tahun. Menurut pengalaman dia dia, anak muda menghabiskan tiga atau empat jam pada untuk belajar pada malam hari. Alhasil, tak ada waktu untuk sepak bola.
Sistem pendidikan yang menghambat pengembangan talenta sepak bola, sempat mengundang kekesalan dari Rowan Simons. Nama terakhir adalah penulis buku Bamboo Goalposts, yang berisi pengalamannya menelaah sepak bola China selama 20 tahun.
Di dalam bukunya, Simons menuliskan, "Jiaoshi Wai, Wue de Kuai. Jiaoshi Nei, Xue de Lei (Di luar kelas, belajar berlangsung cepat. Di dalam kelas, belajar adalah lelucon)."
Tidak mengherankan juga apabila China yang berstatus negara dengan populasi terbanyak, justru baru satu kali tampil di Piala Dunia. Bahkan, ada sebuah sindiran,"Di negara dengan 1,3 miliar jiwa, kita bahkan tak bisa menemukan sebelas pemain."
Ini terlihat dari jumlah pemain sepak bola di Negeri Tirai Bambu. Berdasarkan data FIFA, China memiliki 26.166.335 pesepak bola. Angka ini dua kali lipat dari Brasil yang mengoleksi lima trofi Piala Dunia.
Total 711.235 di antaranya terdaftar di level amatir hingga profesional. Artinya, hanya 0,5 persen dari populasi China menggantungkan hidup dari si kulit bundar.
Kurikulum sepak bola
Dua sisi mata uang antara sepak bola dan pendidikan menggugah Presiden China Xi Jinping. Pada 2011, saat masih menjabat sebagai wakil, dia sempat mengutarakan tiga ambisi untuk sepak bola China.
China diharapkan bisa lolos ke Piala Dunia, menjadi tuan rumah, dan juara dunia suatu hari nanti.
Untuk mewujudkan mimpinya, Xi melihat betapa pentingnya sinergi antara pendidikan dan sepak bola. Dia pun menginstruksikan agar sepak bola disertakan dalam kurikulum wajib nasional.
Hanya satu tahun setelah Xi naik takhta, Kementerian Pendidikan China mengumumkan rencana pembangunan 20.000 sekolah sepak bola. Semuanya ditargetkan rampung dalam tiga tahun.
Pemerintah memproyeksikan ada 1.000 siswa di setiap sekolah, sepuluh di antaranya diharapkan bisa menjadi atlet profesional. Dengan kata lain, China tengah berusaha menciptakan 200.000 pemain potensial.
"Dengan memupuk 100.000 pemain hebat, bagaimana sepak bola kita tidak berkembang?" ucap Wang Dengfeng selaku Direktur Pelatihan Jasmani, Kesehatan, dan Seni dari Kementerian Pendidikan China.