Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
"Turnamen memang benar mengisi kekosongan, kemudian juga menjadi sumber pendapatan buat pemain, tetapi tidak semua pemain bisa terlibat dalam sebuah turnamen. Dari jumlah pemain profesional kita, mungkin hanya sekitar 30-40 persen, sisanya tidak bisa berpartisipasi, dan itu tidak fair untuk mereka" ujarnya lagi.
Pesepak bola kelahiran 25 September 1979 ini menceritakan lebih lanjut.
"Contohnya, pemain-pemain divisi utama dan divisi-divisi dibawahnya yang tidak terlibat sampai turnamen terakhir. Keluhan dan suara mereka yang kita tampung, 'Mas, kalau peserta kompetisinya ISL terus kami kapan terlibatnya? Kapan kami punya kesempatan untuk mendapatkan income?'" terang Ponaryo.
"Dalam turnamen tidak ada sebuah aturan yang benar-benar baku tentang bagaimana proses pembayaran upah buat pemain. Artinya, standar itu berbeda-beda dari masing-masing klub," ujarnya.
Dia pun menambahkan, "Ada yang bulanan, ada yang per pertandingan, dan ini tidak adil untuk pemain itu sendiri."
Pria berusia 36 tahun ini kembali memaparkan hal-hal selanjutnya.
"Turnamen juga tidak bisa mengakomodir semua tim yang bertanding dengan jumlah porsi yang sama. Hanya dua tim yang terlibat sampai final, yang mungkin bertanding lebih dari 10 pertandingan, sisanya yang gugur di babak penyisihan mungkin hanya tiga kali main," kata Ponaryo.
"Dibayar per pertandingan, dengan rata-rata Rp 2-3 juta, hanya berapa pendapatan yang mereka dapatkan? Kesenjangan seperti inilah yang menjadi titik lemah sebuah turnamen," ujarnya.
"Karena itu kami menarik kesimpulan sudah saatnya buat kita semua untuk memikirkan sebuah kompetisi jangka panjang, reguler, tidak hanya diikuti oleh level-level klub atau pemain ISL, tetapi sampai ke liga di bawahnya, sampai ke liga remaja sekalipun," tuturnya menjelaskan.
Ponaryo juga membeberkan terkait masalah kontrak dalam turnamen.