Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Ditemui dalam acara pengenalan konsep baru dari Fisik Football di Daan Mogot pada Jumat (29/1/2016), gelandang Pusamania Borneo FC, Ponaryo Astaman, membongkar kondisi di balik turnamen sepak bola selama ini yang tidak dipahami masyarakat.
Dalam acara yang juga dihadiri oleh Vennard Hutabarat (mantan kapten tim nasional futsal Indonesia), Firman Utina (pemain Sriwijaya FC), dan Herman Dzumafo (pemain Pusamania Borneo FC), Ponaryo mengungkapkan banyak hal seputar sepak bola tanah air.
"Kami tetap dengan deklarasi kemarin, tolak turnamen, karena intinya gerakan itu adalah memaksa semua pihak yang berkompeten untuk segera menggulirkan liga," ujar Ponaryo, selaku Ketua Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI).
"Kami pikir yang pertama harus dilakukan adalah supaya liga bisa berjalan. Kompetisi ini diperlukan semua pemain dan klub. Ini dulu kita fokuskan," tuturnya.
Dia pun menjelaskan secara detail mengenai rancangan liga yang harus semakin bagus.
"Liga harus berjalan dengan perbaikan. Faktor-faktor yang menjadi titik lemah kompetisi selama ini sebisa mungkin langsung diperbaiki saat bergulirnya Indonesia Super Competition," kata Ponaryo.
"Misalnya, verifikasi klubnya lebih ketat, kemudian ada aturan tegas bagaimana kalau ada klub menunggak gaji pemain, lalu pemain yang melakukan pelanggaran sanksinya lebih tegas. Hal seperti itu harus kita mulai dari sekarang," ucapnya.
Mantan kapten Merah Putih ini mulai mengomentari adanya turnamen dalam beberapa bulan belakangan.
"Turnamen mempunyai plus dan minus, tetapi yang kita suarakan kemarin adalah apa sih yang terjadi di dalam turnamen itu sebenarnya yang tidak dipahami oleh masyarakat umum," kata Ponaryo.
"Turnamen memang benar mengisi kekosongan, kemudian juga menjadi sumber pendapatan buat pemain, tetapi tidak semua pemain bisa terlibat dalam sebuah turnamen. Dari jumlah pemain profesional kita, mungkin hanya sekitar 30-40 persen, sisanya tidak bisa berpartisipasi, dan itu tidak fair untuk mereka" ujarnya lagi.
Pesepak bola kelahiran 25 September 1979 ini menceritakan lebih lanjut.
"Contohnya, pemain-pemain divisi utama dan divisi-divisi dibawahnya yang tidak terlibat sampai turnamen terakhir. Keluhan dan suara mereka yang kita tampung, 'Mas, kalau peserta kompetisinya ISL terus kami kapan terlibatnya? Kapan kami punya kesempatan untuk mendapatkan income?'" terang Ponaryo.
"Dalam turnamen tidak ada sebuah aturan yang benar-benar baku tentang bagaimana proses pembayaran upah buat pemain. Artinya, standar itu berbeda-beda dari masing-masing klub," ujarnya.
Dia pun menambahkan, "Ada yang bulanan, ada yang per pertandingan, dan ini tidak adil untuk pemain itu sendiri."
Pria berusia 36 tahun ini kembali memaparkan hal-hal selanjutnya.
"Turnamen juga tidak bisa mengakomodir semua tim yang bertanding dengan jumlah porsi yang sama. Hanya dua tim yang terlibat sampai final, yang mungkin bertanding lebih dari 10 pertandingan, sisanya yang gugur di babak penyisihan mungkin hanya tiga kali main," kata Ponaryo.
"Dibayar per pertandingan, dengan rata-rata Rp 2-3 juta, hanya berapa pendapatan yang mereka dapatkan? Kesenjangan seperti inilah yang menjadi titik lemah sebuah turnamen," ujarnya.
"Karena itu kami menarik kesimpulan sudah saatnya buat kita semua untuk memikirkan sebuah kompetisi jangka panjang, reguler, tidak hanya diikuti oleh level-level klub atau pemain ISL, tetapi sampai ke liga di bawahnya, sampai ke liga remaja sekalipun," tuturnya menjelaskan.
Ponaryo juga membeberkan terkait masalah kontrak dalam turnamen.
"Kontrak masih per turnamen. Inilah yang kita juga ingin sampaikan dengan tuntutan menolak turnamen dan menginginkan kompetisi, karena akan ada kontrak jangka panjang buat pemain," kata sosok berpostur 1,74 meter itu.
"Walaupun sistem turnamen kontraknya 2 atau 3 bulan, tetapi itu tidak cukup melindungi pemain dari faktor yang tidak banyak dilihat orang, yaitu resiko cedera, dan itu sangat membahayakan buat pemain profesional, karena itu adalah musuh utama," ujarnya.
Ponaryo menambahkan, "Kalau cedera dalam durasi kontrak yang hanya 2 bulan, sedangkan waktu penyembuhan lebih lama dari itu, akan menimbulkan resiko tersendiri untuk pemain."
Baca juga:
Pemain kelahiran Balikpapan, Indonesia, ini menceritakan kondisinya yang saat ini tanpa kontrak, tetapi tetap berlatih bersama klubnya.
"Saya tidak bermain di turnamen, tetapi kewajiban untuk latihan itu tetap. Kita tidak bisa untuk menunggu dengan berdiam diri," ujarnya.
"Namun, jika sampai deadline-nya tidak ada keputusan untuk penyelenggaraan liga, buat kami, APPI, menolak turnamen akan tetap berjalan sebagaimana mestinya," tuturnya lagi.
Ponaryo pun menuturkan klub yang dibelanya, PBFC, memahami tujuan dia.
"Saya sudah jelaskan kepada pihak klub dan manajemen, sampai sekarang mereka juga menghargai komitmen yang saya pegang. Sejauh ini tidak ada masalah," ucapnya.
Semoga titik terang sepak bola Indonesia bisa segera terwujud.