Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Catatan Ringan Sumohadi Marsis: Gudeg Yogya

By Caesar Sardi - Selasa, 18 Maret 2014 | 19:30 WIB
Sumohadi Marsis. (Dok. Tribunnews.com)

Yogyakarta mungkin masih bisa dijuluki Kota Gudeg, karena sayur nangkanya yang khas itu memang masih jadi komoditi harian yang laris.

Yogya juga masih relevan sekali untuk disebut Kota Mahasiswa, karena jumlah pencari ilmu semakin banyak saja. Jumlah universitasnya pun kian bertebaran.

Tapi Yogya sebagai Kota Andong? Yang konotasinya adalah kota dengan mobilitas masyarakatnya yang alon-alon asal kelakon?

Pengalaman saya di kota ini minggu lalu membuat saya harus bilang mboten.

Andong memang masih jadi alat transport, tapi jangan dianggap kelambanannya masih menjiwai perilaku masyarakatnya. Hari itu, sebagai orang yang berKTP Jakarta saya malah jadi malu pada orang Yogya.

Tahun silam, ketika BOLA menyelenggarakan seminar sepakbola di Hotel Hilton, pembukaannya terpaksa harus ditunda sampai 30 menit untuk menunggu peserta.

Padahal semua serba gratis. Para peserta seminar terbatas (maksimal 50 orang) itu tinggal datang, berbicara di ruang berAC, minum kopi, makan siang, minum kopi lagi.

Lihat bedanya dengan seminar serupa yang diselenggarakan oleh Universitas Widya Mataram Yogyakarta di Hotel Sahid Garden, Selasa pekan lalu itu.

Saya baru memasuki ruang seminar pukul 08.10, karena saya pikir acara pasti terlambat. Saya pikir juga, apa arti terlambat sepuluh menit di Kota Andong ini?

Ternyata, bodoh benar pikiran seorang Metropolitan yang arogan seperti itu. Acara sudah dimulai. Rektor UWM, Prof. Drs. H. Soempono Djojowadono, sudah akan mengakhiri pidato sambutannya untuk disambung dengan pidato pembukaan oleh Asisten Menpora Dr. Harsuki, MA.

Bukan hanya itu. Jumlah peserta seminar ternyata tak sedikit. Lebih dari seratus orang, dan tidak gratis. Mereka lebih dulu membeli undangan yang harganya Rp 15.000 per lembar!

***

Maka, hati-hati dengan orang Yogya!

Mereka kini sudah jauh berubah. Tidak hanya telah menjadi lebih cepat, tapi juga lebih kaya.

Dan yang dari dulu sudah menjadi ciri (karena itu Universitas Gadjah Mada lahir lebih dulu dari UI) tentunya adalah kekayaan Yogya sebagai sumber ilmu.

Apakah mereka kini juga sudah semakin pintar-pintar?

Entahlah. Yang jelas dalam seminar itu, di mana saya diundang sebagai salah satu moderator, tambahan ilmu atau sekadar masukan yang belum dikaji secara ilmiah datang dari berbagai penjuru.

Banyak yang berupa lagu lama dengan aransemen baru, tapi juga ada yang masih termasuk orisinil.

Di akhir seminar yang berlangsung 10 jam itu, disimpulkan bahwa persepakbolaan Indonesia sekarang berada dalam keadaan yang memprihatinkan.

Tanda-tandanya adalah prestasi tim nasional yang terus saja merosot, dibarengi dengan munculnya banyak kasus di dalam dan di luar lapangan yang menunjukkan rendahnya sportivitas.

Apa resep pengobatannya?

Drs. Koentjoro, dosen Fakultas Psikologi UGM, menawarkan pembinaan tim nasional dengan model Kowilhan, disesuaikan dengan kebudayaan nasional kita yang beraneka-ragam.

Ia, seperti pandangan kebanyakan peserta, juga mengingatkan perlunya pemanfaatan ilmu dan teknologi secara terpadu.

Drs. Suharno HP, dekan FPOK IKIP Negeri Yogyakarta, menggaris-bawahi pentingnya pembinaan sejak usia dini, 10 tahun.

Banyak hal yang menurutnya harus diberikan selama dalam pendidikan, tapi yang paling menarik adalah sarannya agar diajarkan pelajaran budi pekerti.

Tiadanya pelajaran "bagaimana bertingkah laku baik" itu dianggapnya sebagai salah satu sebab tidak terciptanya kualitas permainan yang memadai pada pemain-pemain kita.

"Kalau mereka dibiarkan bersikap jorok, maka permainannya di lapangan pun akan jorok pula," simpul Suharno.

***

Bagaimana pandangan para peserta terhadap Galatama?

Ada pengertian bahwa pembinaan yang baik adalah pembinaan dengan orientasi pada klub. Dan bukan melalui pola Perserikatan yang frekuensi pertandingannya sangat minim.

Namun demikian, dengan mengkaji kehadirannya sejak 1979, Galatama dianggap masih belum merupakan alternatif pembinaan yang sesuai dengan harapan.

Tidakkah diperlukan kehadiran kembali pemain asing sebagai pemacu prestasi, seperti disarankan Eddy Sofyan, bekas asisten pelatih Joao Barbatana yang juga tampil sebagai pemrasaran?

Dua pembicara dari floor dengan lantang menjawabnya dengan: ya! Bahkan seorang di antaranya mengutip hasil angket UWM pada penonton di stadion Krida Mandala: hanya 1,07% yang menolak.

"Marilah PSSI, buka pintu lagi untuk pemain asing. Jangan picik," kata Yefta, salah satu dari dua pembicara yang pro.

Tapi Drs. Nugraha Besoes, sekum PSSI yang tampil sebagai pembicara terakhir, tentu saja lebih setuju pada yang 1,07%.

"Tingkat kehidupan masyarakat dan persepakbolaan kita belum memungkinkan untuk hadirnya pemain asing. Belum bisa dicapai symbiose mutualistis. Lihat Korea Selatan, lihat Jepang, mereka bisa punya prestasi bagus tanpa pemain asing," katanya.

Oh, ya?

Begitulah catatan ini berakhir. Silahkan tafsirkan sendiri apa artinya.

Tapi, makin jelas, bukan Yogya lagi yang cocok untuk julukan Kota Andong. Ya, nggak?

(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 318, Minggu Kelima Maret 1990)