Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pernah ada masa di mana para pelatih klub La Liga bisa duduk nyaman di atas kursinya meski tim yang mereka besut performanya tak memadai. Namun, kini periode indah itu tampak semakin sulit ditemukan karena pos pelatih di La Liga kini berbahaya.
Tentu kita masih ingat zaman di mana Javier “Jabo” Irureta masih aktif menukangi Deportivo la Coruna sepanjang medio 1990-an hingga pertengahan 2000-an.
Atau masa ketika Atletico Madrid begitu identik dengan almarhum Luis Aragones, pelatih yang secara total 15 tahun menjadi nakhoda dari 1970-an sampai awal 2000.
Kala itu, keberadaan mereka di belakang kemudi klub tergolong panjang. Pemecatan tampak masih menjadi hal yang cukup langka. Tak seperti belakangan ini, di mana tingkat kesabaran petinggi klub terlihat semakin tipis.
Bukan hanya bagi klub besar seperti Real Madrid, Barcelona, atau Valencia, yang menuntut prestasi optimal di setiap musim, tapi juga bagi klub berlevel semenjana. Tim macam Getafe, Levante, Real Sociedad, bahkan Granada kini cenderung lebih cepat mengganti pelatihnya.
Menukangi klub selama dua tahun kini sudah bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang mewah.
Jika tak percaya, tengok saja masa kerja paling lama di La Liga 2015-2016, yang dipegang oleh Diego Simeone (sejak 2011) dan Paco Jemez (2012). Selebihnya, cuma ada di kisaran 1-2 tahun.
Dengan baru sekali memimpin Valencia di Primera Division musim ini, Gary Neville praktis menjadi pelatih dengan jam terbang paling pendek.
Namun, dengan tertahan 1-1 oleh Eibar di laga debutnya, ditambah kekalahan dari Olympique Lyon pada matchday terakhir yang menyingkirkan Valencia dari Liga Champion, bukan mustahil masa kerja Neville pun akan sesingkat mayoritas pelatih La Liga.
Valencia mungkin masih akan bersabar guna memonitor kinerja eks asisten pelatih Roy Hodgson di timnas Inggris itu dalam beberapa laga ke depan. Begitu pula dengan Espanyol, yang juga baru menunjuk Constantin Galca sebagai arsitek pengganti Sergio Gonzalez.
“Pintu kami tetap terbuka bagi Sergio Gonzalez. Namun, untuk sekarang kami harus mengucapkan selamat datang kepada Constantin. Ia sosok yang tepat karena merupakan figur internal klub.
Dari empat pelatih terakhir kami, tiga di antaranya ialah bekas pemain Espanyol,” ujar Joan Collet, Presiden Espanyol, seperti dikutip Marca.
Korban Kelima
Meski menghabiskan 300-an partai di La Liga (150-an bersama Espanyol) saat masih aktif bermain, Galca tergolong minim jam terbang di level manajerial Negeri Matador. Bekas klubnya cuma sebatas Almeria B yang dilatih pada 2009-2010.
Kendati demikian, Galca sukses besar dalam musim perdana sekaligus terakhir bagi Steaua Bucuresti. Ia menyumbangkan gelar treble (liga domestik, piala domestik, dan piala liga) bagi jawara Rumania tersebut.
Tak seperti Galca yang belum punya pengalaman panjang melatih di La Liga, Gonzalez sebetulnya memiliki modal lebih baik. Sebelum membesut tim senior
Los Periquitos, mantan kapten Deportivo itu sempat dua tahun meracik strategi bagi Espanyol B. Aksinya mengantar Espanyol ke tangga 10 klasemen Primera 2014/15 pun layak diberi kredit ekstra.
Akan tetapi, manajemen Cornella-El Prat merasa harus memutus kontrak Gonzalez lantaran rapor buruk Javi Lopez dkk. pada delapan pekan terakhir. Espanyol cuma bisa menang sekali dan empat kali kalah.
Gonzalez pun harus rela menjadi korban pemecatan kelima pada musim ini, setalah Paco Herrera (Las Palmas), Lucas Alcaraz (Levante), David Moyes (Sociedad), dan Nuno Espirito Santo (Valencia).
Periode yang sama pada musim 2014-2015, La Liga pun memakan lima korban pemecatan. Hanya, pada akhir musimnya, ada 11 kali pergantian pelatih bagi tujuh klub berbeda.
Sementara itu, dibandingkan aksi pemecatan di Serie A dan Premier League, La Liga ada di tengah-tengah. Serie A telah memecat enam pelatih, sedangkan EPL melengserkan lima manajer pada musim ini setelah Jose Mourinho diberhentikan Chelsea.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa