Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Persija mengalami banyak perubahan memasuki era 1960-an. Dari mulai pemain wajah baru hingga hingga perpindahan markas dari Lapangan Ikada ke Stadion Menteng. Pelan tapi pasti, Macan Kemayoran menjadi kekuatan elite di persaingan papan atas perserikatan Tanah Air.
Pada awal era itu, Persija mulai berbenah dalam hal pembinaan. Kompetisi klub-klub internal menggeliat melahirkan bintang-bintang bertalenta.
Lahirnya pemain-pemain seperti Soetjipto Soentoro dan Kwee Tik Liong mengawali perubahan di tubuh Pasukan Si Jampang. Khusus untuk Soetjipto, ia seperti ditakdirkan menjadi legenda sepak bola Indonesia dan Persija.
Persija mulai kembali menyusun tim dengan pemain-pemain senior yang dipadukan pemain usia muda. Hasilnya, mereka hampir saja meraih gelar juara tahun 1961 jika tidak dikalahkan oleh Persib Bandung di pertandingan penentuan juara pada tanggal 1 Juli 1961.
Belajar dari kegagalan tahun 1961, pengurus Persija pun akhirnya menunjuk Liem Soen Joe atau yang populer dikenal dengan nama Drg Endang Witarsa. Pak Dokter, sapaan akrab Soen Joe, menjadi primadona di kompetisi Persija kala itu.
Baca Juga: Embrio Persija: VIJ Jacatra Sang Juara Perdana Kompetisi PSSI
Endang yang saat itu melatih UMS memang menjadi salah satu pelatih hebat Persija. Lewat tangan dinginnya dia membawa UMS menjuarai kompetisi internal Persija tahun 1959-1960 tanpa terkalahkan.
Saat ditunjuk menjadi nakhoda Persija, Endang merombak total tim Persija. Di tangan Endang, sudah tidak ada lagi pemain-pemain senior macam Tan Liong Houw, Paidjo, Wim Pie, San Liong, Bob Amanupunjo, dan Chris Ong.
Pak Dokter lebih suka dengan anak-anak muda yang mempunyai skill tinggi serta tenaga yang kuat.
Konsep memberdayakan pemain muda sudah diterapkan Endang saat menukangi UMS. Ia bereksperimen memasukkan pemain usia 16-19 tahun dalam skuat utama UMS, hal yang pada saat itu dinilai berisiko tinggi.
Endang menjadi bulan-bulanan kritik. Namun, prestasi pada akhirnya menjadi bukti bahwa konsep yang ia tawarkan berbuah prestasi.
Revolusi ala sang dokter gigi dimulai. Nama-nama pemain belia bertalenta seperti: Sinyo Aliandoe, Yudo Hadiyanto, Reni Salaki, Fam Tek Fong, Dominggus, Supardi, Didik Kasmara, Soegito, Tahir Yusuf, dan Liem Soe Liong (Surya Lesmana) masuk dalam barisan skuat Persija bentukan Pak Dokter.
Mereka dikolaborasikan dengan Kwee Tik Liong dan Soetjipto Soentoro, pemain yang usianya kala itu masih muda tapi jam terbangnya di pentas sepak bola nasional sudah tinggi.
Duel Klasik Jakarta vs Bandung
Duel ulangan melawan Persib pada Kompetisi Perserikatan tahun 1964 menjadi momen paling ditunggu-tunggu para young guns Persija yang ingin melakukan revans di edisi kompetisi sebelumnya.
Maung Bandung kala itu menjadi tim kuat bersama dengan PSM Makassar. Persib kala itu diperkuat oleh pemain-pemain legendarisnya seperti Omo, Wowo, Jus Etek, Rukma, dan Fatah.
Majalah Aneka Olahraga edisi Juli 1964 membahas pertandingan klasik Persija melawan Maung Bandung. Anak-anak Jakarta turun bertanding dengan semangat tinggi. Pertandingan ini dilangsungkan di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang berada di Jakarta.
Skuat Persija tampil penuh semangat tak ingin jadi pecundang di hadapan publik ibu kota.
Sekitar 60.000 penonton memadati SUGBK. Publik sepak bola Jakarta yang mendominasi begitu bersemangat hanya untuk menyaksikan aksi dari Soetjipto Soentoro dkk.
Persib memulai serangannya pada menit-menit awal, tapi serangan anak-anak Bandung itu masih bisa dipatahkan oleh pertahanan Persija yang di galang Supardi. Namun, Persib sempat membahayakan gawang Persija, beruntung tendangan Wowo melebar di atas gawang Persija yang dikawal Yudo Hadiyanto.
Persija langsung merespons serangan tersebut. Tendangan sudut diperoleh Persija, tapi sayangnya tak menghasilkan gol.
Di kesempatan lain, Tahir Yusuf dengan eksplosif membelah pertahanan Persib dan langsung melepaskan tendangan jarak jauhnya, tapi sayangnya melenceng di atas gawang Jus Etek.
Pertandingan meningkat keras, terlebih saat Rukma harus meninggalkan lapangan untuk sementara setelah Supardi mengambil kaki Rukma sampai sang pemain cedera. Namun, Rukma akhirnya bisa kembali bermain.
Persib mempunyai tiga peluang emas yang diciptakan oleh Wowo dan Djajang, tapi refleks cepat kiper Yudo Hadiyanto masih bisa mengamankan gawang Persija dari kebobolan.
Pada menit ke-15, Dominggus mendapat aliran bola dari Soetjipto, dan dengan cepat kali Dominggus menendang bola yang tak mampu dihalau Jus Etek, 1-0 untuk Persija.
Namun, Persib langsung merespons cepat. Bermula dari tendangan bebas, terjadi kemelut di depan gawang Persija, Djajang dengan cekatan menceploskan bola ke gawang Persija, kedudukan menjadi 1-1.
Tersengat dan seakan kecolongan, Persija mengambil alih jalannya pertandingan. Beberapa peluang dari Tahir Yusuf, Dominggus, dan Soetjipto hadir di mulut gawang Persib. Sayangnya peluang-peluang dari tiga pemain Persija itu belum menghasilkan gol.
Menjelang babak pertama usai, Persija melakukan serangan balik yang sangat cepat. Tahir Yusuf membawa bola hingga ke pertahanan Persib, dengan jeli ia mengirim umpan ke sisi kanan serangan Persija.
Tiba-tiba Didik Kasmara muncul disertai tendangan volinya yang keras sekaligus merobek gawang Jus Etek, 2-1 untuk anak-anak Jakarta.
Baca Juga: 87 Tahun Persija: Lahirnya Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (1)
Pada babak kedua, Persija sedikit mengedurkan serangan. Sedangkan Persib masih tampak kesulitan menembus pertahanan Persija karena Kwee Tik Liong bermain lugas dalam mematahkan serangan-serangan Persib.
Menit ke-65 Soetjipto mendapat umpan jauh ke depan. Sunarto yang bertugas mengawal Soetjipto terlalu maju ke tengah. Gareng, sapaan Soetjipto, langsung melihat celah terbuka di pertahanan Persib.
Dengan sangat cepat dia berlari menuju kotak 12 pas Persib. Tanpa ancang-ancang, Gareng melepaskan tendangan keras yang kembali merobek gawang Jus Etek untuk ketiga kalinya.
Setelah unggul, Persija memainkan umpan-umpan pendek. Permainan Persija lebih santai dibanding Persib yang memancing untuk bermain keras. Skor tak berubah hingga peluit tanda berakhirnya laga dibunyikan.
Kemenangan 3-1 ini terasa krusial, tak hanya menjadi pembalasan dendam atas kekalahan sebelumnya, poin penuh yang diraih mempertebal peluang juara Persija.
Saat menghadapi Persebaya pada pertandingan selanjutnya, tim asuhan Pak Dokter tak terbendung. Bajul Ijo takluk 4-1 dan ini adalah kali pertama Persija bisa mengalahkan Persebaya dengan skor besar.
Pasukan muda Persija menjadi kampiun kasta elite Perserikatan edisi 1964 dengan rekor tak pernah mengalami kekalahan dan rekor gol sensasional.
Selepas keberhasilan itu, Persija tampak tak siap dengan kompetisi-kompetisi pada tahun-tahun berikutnya. Apalagi sejak pak Dokter menangani timnas Indonesia. Persija seperti tak kuasa menghadapi permainan Persebaya, PSM, PSMS, dan Persib Bandung.
Berkali-kali gelar juara lepas dan bahkan di tiga kompetisi nasional seperti pada kompetisi 1964-1965, 1965-1966, dan 1966-1967 Persija hanya sekali masuk babak semifinal, yaitu di kompetisi 1964-1965. Sisanya, Persija hanya mampu berada di fase wilayah nasional saja.
Memasuki tahun 1969, Persija baru memunculkan pemain-pemain penerus generasi emas miliki Pak Dokter.
Pemain dengan nama Oyong Liza, Sutan Harhara, dan Suhanta mulai naik ke tim senior Persija dan pada era selanjutnya Persija menuai kesukseskan yang sangat besar, buah dari pembinaan hebat Macan Kemayoran kala itu.
Tim Impian Persija 1964
Persija (2-3-5): Yudo Hadiyanto (K); Kwee Tik Liong, Renny Salaki (B); Liem Soei Liang (Surya Lesmana), Fam Tek Fong, Supardi (T), Didik Kasmara, Sinyo Aliandoe, Soetjipto Soentoro, Dominggus, Tahir Yusuf (D)