Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Siklus tahun kedua Jose Mourinho banyak dibahas media begitu pelatih asal Portugal itu sukses mengantar Chelsea menjuarai Premier League dan Piala Liga 2014/15.
Ya. Periode tersukses Mourinho memang sering muncul pada musim kedua sang pelatih menukangi sebuah klub. Contoh terbaik adalah kala ia mengantar Internazionale meraih trigelar (Serie A, Liga Champion, Coppa Italia) pada 2009/10. Sebagai perbandingan, pada musim pertama membesut Inter, Mou "cuma" memenangi titel Serie A 2008/09.
Hanya, Mourinho tak cuma identik dengan tuah tahun kedua. Pelatih beralias The Special One itu juga akrab dengan siklus tiga tahunan. Jika tahun kedua kerap diwarnai dengan prestasi, musim ketiga Mourinho menukangi sebuah tim justru menandakan masa dekadensi alias penurunan.
Periode Mourinho mengarsiteki Porto (2002-2004) dan Inter (2008-2010) tak bisa memberikan gambaran karena masa pengabdian sang pelatih di kedua klub tersebut tak mencapai tiga musim. Klub yang bisa menahan Mourinho lebih dari dua musim adalah Chelsea (2004-2007), Real Madrid (2010-2013), dan lagi-lagi Chelsea (2013-sekarang).
Ada benang merah yang menghubungkan kiprah Mourinho di Madrid maupun dua "rezim" berbedanya bareng Chelsea. Mou seperti kehilangan rasa lapar kemenangan pada musim ketiganya. Didier Drogba, menyebut apa yang dialami Chelsea musim ini mirip kejadian pada 2007, tahun di mana Mourinho mengakhiri periode pertamanya melatih klub asal London itu.
"Saya meyakini sesuatu kerap memiliki siklus tiga tahun dan kami telah tiba di akhir siklus tersebut. Pada awal musim keempat Mourinho (2007/08), saya rasa kami mencapai titik di mana lebih sulit mencerna pesan yang disampaikannya. Kami ingin mendengarkannya, kami mencoba.Namun, bagaimanapun kami telah kehilangan apa yang membuat tim spesial," kata Drogba, sosok yang membantu Chelsea era Mourinho meraih empat titel Premier League.