Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Hidangan barbeque domba patagonia plus informasi soal talenta belia potensial membuat kunjungan Direktur Olah Raga Palermo, Luca Cattani, ke Argentina tak sia-sia.
Pada 2011, Cattani, berada di Negeri Tango guna melakukan negosiasi transfer penyerang muda Belgrano, Franco Vazquez.
“Hidangan itu sangat enak,” tutur Cattani di Tuttosport.
Dalam proses negosiasi transfer plus santap malam itu, hadir pula Presiden Instituto de Cordoba, Juan Carlos Barrera.
Sambil menikmati kelezatan daging domba Patagonia, Barrera berujar kepada Cattani.
“Jadi, Anda akan membeli Vazquez? Selamat, tapi kami punya pemain yang jauh lebih baik dari Vazquez,” kata Barrera.
Figur yang dimaksud Barrera tak lain adalah Paulo Dybala yang punya julukan La Joya (Sang Permata). Cattani empat kali melihat Dybala beraksi, tapi sejak pengamatan pertama, Maurizio Zamparini (Presiden Palermo) sudah memberikan lampu hijau buat membeli sang permata belia.
Saat itu Dybala baru berusia 17 tahun. Ia tampil memukau dengan mencetak 17 gol di musim 2011/12 serta mengantarkan Instituto promosi ke divisi utama Argentina.
Nama Dybala kian berkibar lantaran di musim pertamanya bersama skuat senior itu ia memecahkan rekor Mario Kempes, legenda Instituto dan Argentina.
Dybala menggeser status Kempes sebagai pencetak gol termuda di skuat senior Instituto. Pencapaian cemerlang lain Dybala pada 2011/12 adalah ia selalu mentas dalam 38 partai liga Instituto, dua kali mengemas hattrick, dan pernah mencetak gol dalam enam laga secara beruntun.
Keran gol Dybala sempat seret dalam dua musim pertama berkostum Palermo, klub yang membelinya dengan biaya sekitar 12 juta euro. Di Serie A 2012/13, pemuda yang mewarisi darah Polandia dari kakeknya itu hanya mengemas tiga gol dalam 27 laga.
Paceklik gol berlanjut pada musim berikut saat Palermo berkiprah di Serie B. Kendati tiket promosi ke Serie A 2014/15 sukses digenggam, kontribusi Dybala terhitung minim lantaran dirinya hanya lima kali bikin gol dalam 25 partai.
Namun, Dybala melesat hebat pada 2014/15. Ia terlibat dalam 23 dari total 53 gol Palermo di Serie A (13 gol plus 10 assist).
Sinar Dybala tetap terjaga kala ia pindah ke Juventus dengan biaya transfer senilai 35 juta euro. Ia adalah pembelian termahal klub Serie A di bursa transfer 2015/16.
Start Dybala bareng Juve bahkan sudah lebih baik ketimbang Carlos Tevez, bintang tim dua musim terakhir yang kini bermain di Boca Juniors.
Dalam 10 partai pertama dengan kostum Si Nyonya Tua, Dybala dan Tevez sama-sama mengemas empat gol. Bedanya, menit tampil Dybala (542 menit) lebih sedikit ketimbang Tevez (807).
Tak banyak yang menyangka, jika talenta hebat seperti Dybala sempat merasakan kejenuhan hebat terhadap sepak bola.
“Dybala berkata: ‘Saya sudah cukup bermain sepak bola.” Dia lantas mendaftar ke tim basket dan kemudian dikeluarkan setelah tak mampu menghilangkan refleksnya untuk mengontrol bola dengan kaki bukan tangan,” ujar Ibunda Dybala, Alicia, sembari tertawa.
Momen kedua yang nyaris membuat Dybala berhenti menendang bola adalah kematian sang ayah, akibat sakit kanker. Saat itu, Dybala masih berusia 15 tahun.
Hanya, Dybala kemudian sadar bahwa cara terbaik untuk membalas cinta sang ayah adalah dengan tetap menjadi pesepak bola. Dybala lantas mengambil keputusan krusial dalam hidupnya dengan tak lagi tinggal bareng keluarga dan masuk ke asrama tim muda Instituto. Tak heran jika ia juga dijuluki El Pibe de la Pension (Si anak asrama).
Pengorbanan Dybala tak sia-sia. Sang ayah pasti bangga melihat anaknya kini tergabung dalam skuat Argentina yang bakal menjalani duel di Kualifikasi Piala Dunia 2018 melawan Ekuador (8/10) dan Paraguay (13/10).
Sepanjang karier, baru kali ini Dybala mendapatkan panggilan ke timnas.
“Jika bukan karena dia (ayah), saya tak akan berada di sini. Saya berutang segalanya kepadanya dan saya tahu di suatu tempat dia masih melihat saya,” kata Dybala sebelum melakoni partai debutnya bareng Instituto pada 2011.