Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Akhirnya, kisah Brendan Rodgers tamat persis usai Liverpool terlibat laga prestisius derbi Merseyside melawan Everton, Minggu (4/10). Tak ada kesedihan. Kepergian Rodgers hanya disebut sebagai kisah “merpati yang gagal menjadi elang”.
Bagi banyak pecinta dan para legenda Liverpool yang sejak awal sudah tidak nyaman dengan kedatangan Rodgers pada 2012, kepergiannya dianggap tepat. Pasalnya, di mata mereka kelas Rodgers baru sebatas merpati, padahal Liverpool membutuhkan pelatih sekelas elang.
Pada faktanya, merek dagang Rodgers memang bisa disebut paling tidak kondusif ketimbang manajer-manajer yang pernah hidup bersama Liverpool. Karena itu, Fenway Sports Group sebagai pemilik saham mayoritas yang memilih Rodgers dianggap harus ikut pula bertanggung jawab.
Rodgers terasa bukan apa-apa bila dibandingkan dengan nama-nama seperti Gerard Houllier, Rafael Benitez, Roy Hodgson, sampai Kenny Dalglish. Apalagi dibandingkan dengan pelatih pencipta kejayaan Liverpool pada era 1970-an sampai 1980-an, seperti Bill Shankly, Bob Paisley sampai Joe Fagan.
Rodgers pernah mencuat bersama Watford pada 2008 saat dia memulai karier sebagai manajer, lalu gagal di Reading, dan kemudian menjadi sosok menarik perhatian bersama Swansea City.
Meski didukung oleh Jose Mourinho, catatan sebagai arsitek klub-klub kecil itulah yang membuat tidak nyaman saat Rodgers hadir di Anfield. Pada tiga tahun lalu, ketika pertama kali mendarat di Anfield, Rodgers menyatakan bahwa filosofinya sederhana.
“Memenangi sebanyak mungkin trofi, bermain atraktif, dan mendatangkan sebanyak mungkin pemain muda sebisa kami,” ungkap Rodgers ketika memperkenalkan filosofinya untuk pertama kali.
Uang Besar
Ternyata, visi Rodgers memang terlalu sederhana buat klub sebesar Liverpool. Padahal, The Reds merupakan klub yang membutuhkan lebih dari sekadar mengejutkan. Liverpool butuh menghidupkan lagi konsistensi yang telah lama hilang.
Rodgers sempat sukses mempresentasikan filosofinya. Duet Luis Suarez-Daniel Sturridge pada musim 2013-14 menjadi saksi kedahsyatan Liverpool, di mana The Reds menjadi salah satu tim paling berbahaya dengan catatan 100 gol lebih.
Namun, konsistensi tak terjadi dan malah kian menjauh pada musim berikutnya. Salah satu yang dianggap sebagai bentuk ketidaktahuannya tentang kebesaran Liverpool yaitu saat dirinya memegang uang besar hasil penjualan Suarez.
Dengan jumlah uang besar di tangan, senilai 75 juta pound, Rodgers tak piawai bermain di bursa transfer guna menghadirkan megabintang. Transfer yang dilakukan lebih banyak menghasilkan pembelian gagal, seperti Mario Balotelli, Rickie Lambert, atau Fabio Borini.
Rodgers seperti hilang arah dan tidak tahu harus bagaimana. Apalagi pujaan sekaligus darah sejati Liverpool yang tersisa, seperti Jamie Carragher dan Steven Gerrard, memutuskan pergi untuk selamanya.
Liverpool harus segera mencari pengganti yang memahami kebesaran The Reds. Pasalnya, jika lagi-lagi terjerat peristiwa Rodgers, dikhawatirkan merek Liverpool akan hanya sebatas diingat sebagai klub yang pernah besar.
Penulis: Dedi Rinaldi
1959 – 1974 Bill Shankly
1974 – 1983 Bob Paisley
1983 – 1985 Joe Fagan
1985 – 1991 Kenny Dalglish
1991 – 1991 Ronnie Moran
1991 – 1994 Graeme Souness
1994 – 1998 Roy Evans
1998 – 2004 Gerard Houllier
2004 – 2010 Rafael Benitez
2010 – 2011 Roy Hodgson
2011 – 2012 Kenny Dalglish
2012 – 2015 Brendan Rodgers
2015 - Juergen Klopp