Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Problem Pelik Melanda Tuan Rumah Piala Dunia 2018

By Indra Citra Sena - Kamis, 1 Oktober 2015 | 06:12 WIB
Hulk, korban terbaru rasisme suporter sepak bola Rusia. (Manuel Queimadelos Alonso/Getty Images)

Perilaku rasisme alias penghinaan terhadap martabat seseorang dalam sepak bola kembali terjadi di Liga Rusia. Striker Zenit, Givanildo Vieira de Sousa alias Hulk menjadi korban aksi rasial dari suporter lawan sepanjang laga kontra Spartak Moskva, Sabtu (26/9).

Hulk enggan menjelaskan secara detail mengenai tindakan rasisme tersebut. Pemain berkebangsaan Brasil itu hanya menyebutkan bahwa selama suporter lawan masih berperilaku demikian, maka ia akan terus memberikan respons berupa kecupan ke arah mereka.

“Saya melakukan gestur mengirimkan kecupan ke arah suporter lawan karena saya enggan memedulikan segala perilaku rasisme yang mereka lakukan. Saya cuma ingin memberikan jawaban lewat permainan di atas lapangan,” ujar Hulk seperti dilansir Soccerway.

Barangkali Hulk belajar dari kasus terdahulu, di mana pemain FC Ufa, Emmanuel Frimpong, mesti menerima hukuman larangan bertanding selama dua laga dari Federasi Sepak bola Rusia (RFU) akibat mengacungkan jari tengah ke arah suporter lawan.

Eks gelandang Arsenal itu merasa terprovokasi lantaran mendengar aksi rasial berupa suara-suara monyet dalam pertandingan versus Spartak Moskva, 17 Juli 2015. Meski telah meminta maaf, Frimpong tetap meminta kepada RFU untuk mengusut tindakan rasisme.

Kedua kasus tersebut membuktikan bahwa atmosfer sepak bola Rusia belum bersahabat bagi para pemain berkulit gelap. Situasi semakin kelam bila menilik temuan dua organisasi anti-rasisme, Football Againts Racisme in Europe (FARE) dan SOVA Center.

Dalam tempo dua musim (2012-2014), jumlah aksi rasial yang berkaitan dengan sepak bola Rusia mencapai 155 kasus. Hampir separuh alias 74 kasus berupa tampilan spanduk dan atribut lain yang merendahkan hak asasi manusia di tribun stadion.

Persoalan ini tentu harus segera mendapatkan perhatian dari pemerintah Rusia mengingat negara dengan wilayah paling luas sedunia itu akan menyelenggarakan turnamen sepak bola terakbar, Piala Dunia, pada 2018.

Tantangan semakin berat karena ternyata sebagian besar masyarakat Rusia menganggap tindakan rasisme sebagai bahan guyonan belaka seperti yang baru-baru ini dikatakan oleh Alexei Smertin dalam acara 1000 hari menuju Piala Dunia 2018.

“Terdapat kesalahan penafsiran mengenai rasisme di Rusia. Di sini, orang-orang melakukannya sekadar untuk bersenang-senang serta ditujukan kepada lawan bertanding, bukan personal,” kata mantan kapten tim nasional Rusia itu sebagaimana dikutip dari BBC Sport.