Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Menekuni olah raga yang identik dengan kaum pria seperti sepak bola memang dirasakan berbeda oleh Anggar Kaswati. Apalagi momen itu terjadi pada tahun 1980-an saat sepak bola wanita tidak terlalu populer di Indonesia.
Namun, Anggar bisa menikmati dan menekuni sepak bola sampai waktu yang cukup lama. Ya, hampir 30 tahun, ibu dari tiga anak dan nenek dari seorang cucu ini bermain sepak bola.
Sebuah ‘karier’ yang sangat panjang. Hanya, Anggar tidak menyebutnya sebagai karier karena menjadi pesepak bola wanita bukanlah sebuah profesi.
Tidak ada gaji atau kontrak dengan imbalan rupiah saat bergabung dengan salah satu klub. Apalagi selama dia menggeluti sepak bola wanita, PSSI tidak pernah memedulikannya.
"Sepak bola wanita tumbuh secara mandiri. Tidak ada dukungan dari PSSI. Karena itu, klub-klub baru bertanding bila ada undangan turnamen. Saat itu, tidak ada kompetisi atau turnamen di bawah PSSI," tutur Anggar.
Anggar menekuni sepak bola wanita setelah diarahkan oleh guru olah raga di SMA pada 1976.
Sejak itu, dia seperti tak pernah lepas dari sepak bola, apalagi Anggar kemudian bergabung dengan klub Putri Mataram.
Putri Mataram menjadi salah satu dari sedikit klub sepak bola wanita yang eksis pada saat itu. Selain Putri Mataram, ada Buana Putri dan Putri Priangan. Ketiganya membangun perseteruan abadi lewat berbagai turnamen di Tanah Air.
"Saat itu sangat jarang pemain berpindah klub. Saya tidak pernah meninggalkan Putri Mataram. Begitu pula rekan-rekan di Buana Putri dan Putri Priangan. Kami bersaing di lapangan tapi bersahabat di luar lapangan karena memang sering bertemu di turnamen," kenangnya.
Mengikuti perjalanan karier Anggar bersama Putri Mataram sedikit banyak bisa mengetahui sepenggalan sejarah sepak bola wanita nasional yang kalah glamor dengan Galatama dan bahkan Perserikatan.