Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Hingga peringatan Hari Olah Raga Nasional (Haornas) ke-32, kita selalu dihadapkan pada sebuah pertanyaan, mengapa belum ada kemajuan signifikan di olah raga kita?
Muara dari pertanyaan itu tentu ada pada soal adakah visi olah raga di republik yang kita cintai ini? Jika belum ada, dan tampaknya memang iya, marilah kita sama-sama memikirkan hal itu. Bicara untuk mendapatkan visi olah raga yang menuju prestasi tidaklah sulit.
Jika dulu kita harus menyeminarkan, lalu menyusun program atau desain besar dengan judul bombastis, entah itu Garuda Emas (Gapai, Rebut, Uber, Dapatkan Emas) atau Indonesia Emas, kini tak perlu repot-repot melakukan itu.
Saat ini, membuat visi olah raga masa depan dengan menyandarkan pada program atlet elite demi meraih prestasi dunia menjadi hal yang bisa dilakukan negara mana pun. Kuncinya hanya satu: komitmen dalam menjalankan!
Mengapa mudah? Karena menciptakan atlet kelas dunia dengan program pengembangan atlet elite sudah berlaku secara homogen. Artinya, program itu bisa dijalankan dengan seragam.
Entah itu bangsa Asia atau Afrika, sepanjang menjalankan program atlet elite yang sebelumnya dikembangkan di dunia Barat, maka hasilnya akan sama.
Tiru Jepang dan Kenya
Jepang contohnya. Usai mendulang prestasi buruk Olimpiade Barcelona 1992 dan berlanjut di Atlanta 1996, mereka langsung merombak visi pembinaan prestasi olah raganya dengan fokus pada atlet elite. Prestasi puncak langsung diraih di Olimpiade Athena dengan meraih 16 medali emas dan menduduki peringkat lima dunia.
Meski di dua Olimpiade terakhir belum bisa mengulangi prestasi medali emas dua digit, fondasi olah raga prestasi yang kuat telah dimiliki Jepang, yang baru membangun olah raganya di tahun 1980-an.
Apa yang Jepang lakukan pasca-1996 itu tak lain mengadaptasi visi membangun olah raga lewat program atlet elite. Mereka meng-copy paste semua pola atlet elite barat dan menjalankan komitmennya.
Mereka melakukan tiga pilar untuk membangun visi olah raganya melalui komitmen serius pemerintah, membangun atlet elite, dan menjadi tuan rumah event internasional.
Tak lupa, demi menunjang program atlet elite, Jepang bertahap menyiapkan pembinaan dini dengan mengedukasi olah raga lewat sekolah dan melibatkan banyak klub olah raga.
Program atlet elite itu juga dipakai Kenya dalam membangun cabang atletik. Prestasi juara umum di Kejuaraan Dunia Atletik di Beijing membuktikan bahwa menciptakan atlet elite bisa dilakukan negara mana pun sepanjang visi dan komitmennya jelas.
Kenya, yang biasa menguasai lari jarak menengah dan jauh dengan mendulang empat medali emas, kini juga piawai di lari jarak pendek dan nomor lapangan lewat torehan medali emas di 400 meter gawang (Nicholas Bett) dan lempar lembing (Yulius Yego).
“Kenya kini punya atlet hebat di luar lari jarak menengah. Kami punya bakat banyak di atletik, sehingga tak lama lagi kami akan menguasai nomor sprint dan lapangan karena kami mampu mengidentifi kasi semua bakat sejak usia dini,” jelas Yego, dikutip dari rfi.news.
Kita bersyukur pemerintah kali ini punya perhatian lebih ke olah raga. Mulai dari keinginan membenahi sepak bola nasional hingga menyiapkan diri menjadi tuan rumah Asian Games 2018.
Namun, perlu lebih dari itu, yakni visi olah raga yang lebih maju dengan tujuan mencapai prestasi dunia dan menjadi gerbong untuk membawa kemajuan di bidang pembinaan dini serta olah raga prestasi yang diharapkan.
Paling tidak di Haornas-Haornas mendatang, kita akan lebih puas merayakan lewat serangkaian prestasiprestasi level dunia yang baru ketimbang hanya memberikan tanda-tanda jasa kepada atlet-atlet lawas lewati torehan prestasi masa lalu.
Ingat, target kemajuan di masa depan jauh lebih berarti dan memberi semangat lebih besar ketimbang kejayaan di masa lampau.
Penulis: Dede Isharrudin