Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kasihan sekali Martina Hingis. Seorang pemain yang begitu dipuja di masa remaja harus mengakhiri karier dengan pukulan besar dan rasa malu. Semua itu tak lepas dari pengakuan pemain Swiss itu bahwa ia telah menggunakan kokain pada Wimbledon lalu.
Hingis tertangkap doping pada 29 Juni saat dikalahkan Laura Granville dari AS di babak ketiga Wimbledon. Itu turnamen pertama yang diikutinya setelah 1,5 bulan absen akibat cedera pinggul dan punggung.
Setelah menjalani dua kali tes pada September dan Oktober, Hingis memang terbukti doping. Dengan mata berkaca-kaca, mantan pemain nomor satu dunia itu pun menggelar konferensi pers di Zurich, Swiss, Kamis (1/11), dan menyatakan mundur dari tenis dan yang ini mungkin selamanya. Pasalnya pemain berusia 27 tahun itu juga pernah mundur pada 2002 karena berbagai cedera dan kehilangan motivasi, tapi kembali ke arena pada awal 2006.
“Saya frustrasi, marah, dan yakin 100 persen tak bersalah. Saya tak pernah menggunakan obat terlarang,” jelas The Swiss Miss.
Akhir Pahit
Kasus doping sebenarnya bukan hal baru di tenis, tapi jarang terjadi di putri. Mereka yang pernah doping di antaranya tiga pemain Argentina: Mariano Puerta, Guillermo Canas, dan Guillermo Coria. Greg Rusedski asal Inggris juga pernah terjerat doping, begitu juga mantan pemain Rep. Ceska, Petr Korda. Di putri, pemain yang pernah tersangkut doping baru Lourdes Dominguez Lino dari Spanyol pada 2002.
Kasus doping Hingis tentu saja yang paling menarik dibanding yang lain. Bukan hanya karena ia wanita dan mantan pemain nomor wahid. Orang tentu masih ingat betapa hebatnya ia kala remaja.
Hingis terjun ke pro pada usia 14 tahun dan sampai sekarang masih tercatat sebagai juara grand slam termuda abad ini, yakni ketika ia berjaya di Australia Terbuka 1997 pada usia 16 tahun. Di tahun itu pula ia merajai tenis putri dengan merebut dua titel grand slam lain dari Wimbledon dan AS Terbuka serta tak tergoyahkan di peringkat teratas dunia.
Sayang, catatan manis kariernya harus ditutup dengan sebuah tindakan tak sportif yang selalu menjadi cacat di olahraga.
(Penulis: Rahayu Widiyarti)