Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Kelindan Ironi di Rumah Sendiri

By Tulus Muliawan - Senin, 22 Juni 2015 | 21:48 WIB
Tomi Sugiarto masih sulit menembus hegemoni pebulu tangkis asing di BCA Indonesia Open 2015, meski berhasil mengempaskan Lin Dan di babak pertama. (Herka Yanis Pangaribowo/BOLA)

Majalah Tempo edisi Mei tahun 1999 pernah memuat kutipan dari salah satu penyair termasyhur Nusantara, Pramoedya Ananta Toer. Bunyinya kurang lebih begini, “Sejarah itu penting, rumah tempat orang melanglang dunia. Jika tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.” 

Kelindan Ironi di Rumah Sendiri
Majalah Tempo edisi Mei tahun 1999 pernah memuat kutipan dari salah satu penyair termasyhur Nusantara, Pramoedya Ananta Toer. Bunyinya kurang lebih begini, “Sejarah itu penting, rumah tempat orang melanglang dunia. Jika tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.” 
Indonesia kembali gigit jari. Mengulang hal serupa musim lalu. Dalam turnamen BCA Indonesia Open 2015 yang didukung oleh Bakti Olahraga Djarum Foundation itu, Indonesia lagi-lagi nirgelar. Untuk sekadar meraih juara di salah satu nomor, dari lima nomor yang dipertandingkan, kesulitan itu begitu nisbi.
Kejutan memang sempat terjadi ketika ada nama Greysia Polii/Nitya Maheswari di final ganda putri. Namun, hanya sebatas itu, tak lebih. Di final, ganda putri Tiongkok, Tang Jianhua/Tian Qing, terlampau sulit untuk diempaskan. Dengan terengah-engah, duet Srikandi Indonesia itu mesti mengakui bahwa mereka tak cukup perkasa dan kalah dua set langsung. Tunggal putri pun tak bisa dibilang lebih baik setelah Ratchanok Intanon keluar sebagai juara baru.
Di tunggal putra, Indonesia pun tak bergigi. Di nomor bergengsi ini, wakil-wakil Indonesia, seperti Jonatan Christie, Dion Hayom Rumbaka, Tomy Sugiarto, hingga Antony Ginting, kandas di hadapan lawan-lawannya. Dua nama pertama karam di tangan orang yang sama, yakni juara Indonesia Open tahun lalu, Jan Jorgensen, yang tahun ini harus puas sebagai runner-up. Sedangkan Ginting, debutan berusia 18 tahun, mesti mengakui bahwa hanya bermodal elemen kejutan tak cukup untuk membenamkan Kento Momota yang dua tahun lebih tua darinya dan keluar sebagai juara tahun ini.
Sementara itu, Tomy Sugiarto yang sukses mengalahkan veteran Tiongkok, Lin Dan, justru kandas di tangan Marc Zwiebler (Jerman) di babak kedua. Inkonsistensi seolah menjadi nama tengah putra dari Icuk Sugiarto, sosok yang dulu juga dikenal sebagai peragu dalam mengambil keputusan. Pasca Simon Santoso, tak ada lagi pria Indonesia yang berhasil berdiri di undakan teratas podium dalam tiga edisi terakhir. 
Dua nomor yang biasanya menjadi penyelamat pamor Indonesia, ganda putra dan ganda campuran, bernasib sama nahasnya. Hendra Setiawan/M. Ahsan kandas di semifinal ketika berhadapan dengan Zhang Nan/Fu Haifeng (Tiongkok). Begitupun dengan Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad yang tak sanggup meladeni perlawanan Zhang Nan/Zhao Yunlei, juga di semifinal. Anda tidak salah melihat, Zhang Nan memang bermain di dua nomor dan tetap mampu menjaga kualitasnya.
Dua edisi turnamen tanpa menempatkan satu wakil pun sebagai juara tentu bukan hal baik. Hal ini bisa dianggap sebagai sinyal lingsirnya kekuatan bulu tangkis Indonesia secara keseluruhan. Prestasi bulu tangkis Indonesia yang semakin mursal menjadi tanda tanya yang melahirkan kekecewaan di rumah sendiri. Kejuaraan Dunia 2015 yang akan dihelat di Indonesia pada Agustus nanti bisa saja menjadi repetisi kekecewaan dalam tempo singkat. 
Ironis, mengingat dulu Indonesia mampu menjadi tempat lahirnya talenta-talenta hebat yang kemudian melesat menjadi juara, justru kini kuburan bagi para pebulu tangkis lokal. Jadi orang asing di negeri sendiri, kata Pram. Ketika pemain-pemain senior mulai kehabisan waktunya, para talenta muda seperti kehilangan mentalitas juara yang dulu diperlihatkan para pendahulu mereka. Mentalitas yang membuat Indonesia begitu disegani. Berganti dengan inkonsistensi hingga akhirnya mereka meredup dengan sendirinya. Jika memang fondasi mentalitas dan teknis (sejarah) sebagai tempat mereka melesat tak jelas, sulit berharap mereka tahu arah tujuan (prestasi) yang ingin dicapai. Ah, Pram memang selalu faktual ….

Indonesia kembali gigit jari. Mengulang hal serupa musim lalu. Dalam turnamen BCA Indonesia Open 2015 yang didukung oleh Bakti Olahraga Djarum Foundation itu, Indonesia lagi-lagi nirgelar. Untuk sekadar meraih juara di salah satu nomor, dari lima nomor yang dipertandingkan, kesulitan itu begitu nisbi.

Kejutan memang sempat terjadi ketika ada nama Greysia Polii/Nitya Maheswari di final ganda putri. Namun, hanya sebatas itu, tak lebih. Di final, ganda putri Tiongkok, Tang Jianhua/Tian Qing, terlampau sulit untuk diempaskan. Dengan terengah-engah, duet Srikandi Indonesia itu mesti mengakui bahwa mereka tak cukup perkasa dan kalah dua set langsung. Tunggal putri pun tak bisa dibilang lebih baik setelah Ratchanok Intanon keluar sebagai juara baru.

Di tunggal putra, Indonesia pun tak bergigi. Di nomor bergengsi ini, wakil-wakil Indonesia, seperti Jonatan Christie, Dion Hayom Rumbaka, Tomy Sugiarto, hingga Antony Ginting, kandas di hadapan lawan-lawannya.

Dua nama pertama karam di tangan orang yang sama, yakni juara Indonesia Open tahun lalu, Jan Jorgensen, yang tahun ini harus puas sebagai runner-up. Sedangkan Ginting, debutan berusia 18 tahun, mesti mengakui bahwa hanya bermodal elemen kejutan tak cukup untuk membenamkan Kento Momota yang dua tahun lebih tua darinya dan keluar sebagai juara tahun ini.

Sementara itu, Tomy Sugiarto yang sukses mengalahkan veteran Tiongkok, Lin Dan, justru kandas di tangan Marc Zwiebler (Jerman) di babak kedua. Inkonsistensi seolah menjadi nama tengah putra dari Icuk Sugiarto, sosok yang dulu juga dikenal sebagai peragu dalam mengambil keputusan. Pasca Simon Santoso, tak ada lagi pria Indonesia yang berhasil berdiri di undakan teratas podium dalam tiga edisi terakhir. 

Dua nomor yang biasanya menjadi penyelamat pamor Indonesia, ganda putra dan ganda campuran, bernasib sama nahasnya. Hendra Setiawan/M. Ahsan kandas di semifinal ketika berhadapan dengan Zhang Nan/Fu Haifeng (Tiongkok). Begitupun dengan Liliyana Natsir/Tontowi Ahmad yang tak sanggup meladeni perlawanan Zhang Nan/Zhao Yunlei, juga di semifinal. Anda tidak salah melihat, Zhang Nan memang bermain di dua nomor dan tetap mampu menjaga kualitasnya.

Dua edisi turnamen tanpa menempatkan satu wakil pun sebagai juara tentu bukan hal baik. Hal ini bisa dianggap sebagai sinyal lingsirnya kekuatan bulu tangkis Indonesia secara keseluruhan.

Prestasi bulu tangkis Indonesia yang semakin mursal menjadi tanda tanya yang melahirkan kekecewaan di rumah sendiri. Kejuaraan Dunia 2015 yang akan dihelat di Indonesia pada Agustus nanti bisa saja menjadi repetisi kekecewaan dalam tempo singkat. 

Ironis, mengingat dulu Indonesia mampu menjadi tempat lahirnya talenta-talenta hebat yang kemudian melesat menjadi juara, justru kini kuburan bagi para pebulu tangkis lokal. Jadi orang asing di negeri sendiri, kata Pram.