Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Putih mengalami keterpurukan.
Keprihatian peraih tiga gelar juara tiga kali All England 1978, 1979, dan 1981 ini dilontarkan kepada wartawan di sela-sela acara Djarum Badminton All Stars 2015 di GOR ASA, Cilegon, Banten, Sabtu (14/3). Menurutnya, dirinya juga heran mengapa kini tidak ada pemain tunggal putra hebat yang dimiliki Indonesia.
"Saya juga baru ngeh setelah diberitahu BOLA kalau sudah 21 tahun tidak ada tunggal putra kita yang menjadi juara All England. Ini tentu memprihatinkan. Tidak sepantanya prestasi kita sebagai negara kuat bulu tangkis dunia menurun tajam seperti sekarang," komentar King, sapaan akrab salah satu pemain tunggal terbaik yang dimiliki Indonesia.
Dalam catatan sejarah, pemain tunggal putra Indonesia terakhir merebut gelar juara All England adalah Hariyanto Arbi. Pemain kelahiran Kudus, 43 tahun silam itu memenangi titel All England pada 1994.
Setelah itu, tidak ada juara lagi yang dimiliki Indonesia. Memang ada Taufik Hidayat yang sempat lolos ke partai final All England 1999 dan 2000, namun dia gagal menuntaskan gelar juara setelah dijegal Peter Gade Christensen (Denmark) dan Xia Xuanze (Tiongkok). Pada tahun 2002, gantian Budi Santoso juga maju ke partai pamungkas turnamen bergengsi ini sebelum disingkirkan Chen Hong (Tiongkok).
"Daru dulu kita mendominasi nomor tunggal putra All England. Kita bisa menjaga tradisi juara di tunggal putra. Kini, setelah diterpa kegagalan beruntun, pasti ada yang salah dengan pembinaan bulu tangkis kita, terutama di tunggal putra," tegas King.
Pemilik King Smash ini pun membandingkan dengan Spanyol yang kini mampu menyetak juara dunia 2014 dan juara All England 2015 lewat sabetan Carolina Marin. Padahal Negeri Matador itu tidak memiliki tradisi dan sejarah panjang dengan olahraga tepok bulu.
"Spanyol saja yang tidak punya sejarah bulutangkis, sekarang punya juara All England, masak kita sebagai negara kuat bulutangkis malah tidak ada yang jadi juara. Ini pasti ada yang salah," tegas King.
Menurutnya, penurunan itu karena banyak faktor. Mulai dari atlet yang sebenarnya kurang berbakat, motivasi dan semangat yang kurang tangguh. Selain itu pemain sekarang banyak yang bersikap manja.
"Mungkin di Pelatnas, kehidupannya kini sudah enak. Uang kontrak besar, duit banyak sehingga nggak punya etos besar lagi untuk jadi seorang juara. Tidak ada tantangan lagi untuk menjadi juara," kata King.