Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
6 Mei, membuat Kasubdit Pelatnas, Christian Hadinata, prihatin. Luluk/Alven, yang pernah menjadi ganda nomor satu dunia, tidak sepantasnya kalah di babak awal.
“Saya pun heran mengapa Luluk/Alven bisa kalah di babak-babak awal. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Apalagi, di Singapura kemarin dia kalah bukan dari ganda ternama dunia,” tutur Christian.
Sebelum terjungkal di Singapura, saat mengikuti dua turnamen super series, Malaysia (Januari), dan All England (Maret), mereka juga hanya bertahan hingga babak kedua. Labilnya prestasi Luluk/Alven tentu berbeda dengan prestasi gemilang kala mereka menjadi ganda nomor wahid 2004.
Apalagi, belakangan ini prestasi mereka juga makin merosot. Ada semacam rintangan mental setiap bertanding. Akibatnya mereka tidak bisa bermain lepas.
“Saat ini Luluk/Alven memiliki rintangan psikis. Kalau mereka terus gagal, bisa-bisa kepercayaan diri akan hilang. Kalau ini terjadi, akan sangat berbahaya,” tambah Christian.
Yang membuat anak didiknya itu makin kehilangan rasa percaya diri tidak lain adalah karakter juara yang dulu pernah ada, kini hilang. Padahal, bila ingin menjadi ganda dunia, pemain harus memiliki karakter juara.
Menurut pelatih ganda ini, mengambil contoh di sepakbola, karakter juara bisa dilihat dari perjuangan AC Milan di kancah Liga Champion. Kalah 2-3 di partai pertama lawan Manchester United, mereka bisa bangkit di partai berikutnya dengan memukul 3-0. “Kalau tidak, ya, mirip Liverpool di final Liga Champion 2005. Tertinggal 0-3 dari Milan, tetapi mereka terus berusaha pantang menyerah. Akhirnya malah juara,” tandasnya.
“Saya hanya berharap Luluk/Alven bisa segera menemukan karakter mental juaranya kembali,” tambah Christian.
(Penulis: Broto Happy W.)