Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kebijakan politik pemimpin di Indonesia dan Malaysia berpengaruh besar terhadap kebijakan olahraga yang terjadi. Indonesia pasca kemerdekaan lebih fokus ke konsolidasi pengisian kemerdekaan. Semua pimpinan pergerakan maupun olahraga memusatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan menciptakan kondisi sosial politik dalam negeri yang stabil. Karena merupakan masa transisi dari era penjajahan ke kemerdekaan, maka banyak terjadi pergantian Kabinet, mulai dari Kabinet Presidensial hingga Kabinet Hatta II.
“Pada tahun 1946 muncul keinginan untuk mengorganisir kembali olahraga di Indonesia. Pada awal 1946 dilakukan pertemuan di Solo oleh semua pemimpin olahraga dari seluruh daerah Republik Indonesia. Juga bergabung di sana GELORA (Gerakan Olahraga di zaman Jepang) dengan tujuan menggerakkan olahraga secara teratur. Pertemuan ini dikenal sebagai Kongres Olahraga I yang dipimpin Dr. Abdul Rachman Saleh” [Sumber: Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jendral Olahraga, Sejarah Olahraga Indonesia (Jakarta: CV Wendy Putri Lestarindo, 2003, hh.1-14.]
Kebijakan politik, termasuk dalam bidang olahraga, yang diambil sebuah negara sangat tergantung pada siapa yang menjadi pemimpin. Di Indonesia, sejak kemerdekaan hingga saat ini, kepemimpinan ada di tangan Presiden. Sementara di Malaysia, pimpinan tertinggi terletak di tangan Perdana Menteri (PM).
Presiden pertama Indonesia, Soekarno pada periode 1945-1966, memiliki kebijakan yang kuat pada olahraga sebagai pembangunan karakter bangsa (nation building). Pada tahun 1957 untuk pertamakalinya dalam pidato 17 Agustus Presiden Soekarno menyinggung pentingnya pendidikan jasmani dan olahraga dalam rangka nation building. Pemerintah tidak hanya memperhatikan terhadap pelaksanaan pendidikan jasmani namun juga menganggap pendidikan jasmani sebagai staatszorg (urusan negara) dan menetapkannya sebagai staatsplicht (keharusan negara). Perintah Presiden itu dituangkan dalam rencana pembinaan keolahragaan dinamai Rencana 10 Tahun Olahraga.
Menurut Adams (2002), presiden Soekarno adalah peletak landasan pentingnya olahraga sebagai sarana pemersatu bangsa Indonesia. “Presiden Soekarno melihat dengan jeli bagaimana nasionalisme bangsa yang baru saja merdeka digelorakan lewat olahraga. Sebagai pencetus Pancasila dalam pidatonya Juni 1945, Soekarno melihat urgensi menggunakan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tidak hanya, ia melihat harus ada pengikat lain yang secara nyata bisa dilihat hasilnya yakni lewat prestasi olahraga” [Sumber: Iain Adams, "Pancasila: Sport and the Building of Indonesia - Ambitions and Obstacles", International Journal of the History of Sport, Volume 19:2, 2002, hh.295-307.]
Amanat Presiden pada 9 April 1961 di Bandung di depan para atlet yang dipersiapkan ke Thomas Cup dan Asian Games IV menggariskan dasar-dasar baru dalam kehidupan olahraga Indonesia. Tiga hal paling penting adalah:
1. Olahraga mempunyai fungsi amat penting dalam muka kelima Revolusi Pancamuka, yaitu membangun Manusia Indonesia Baru.
2. Tiap olahragawan harus berdedikasi dan mempersembahkan hidup untuk Indonesia, nama Indonesia, masyarakat Indonesia, untuk penyelenggaraan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera).
3. Segala persiapan sehebat-hebatnya untuk Thomas Cup dan Asian Games untuk seterusnya membangun satu Nation Indonesia, untuk Nation Building Indonesia.
Amanat tersebut dijadikan pedoman baru bagi semua olahragawan, pimpinan olahraga, dan semua orang yang melakukan kegiatan di bidang keolahragaan di era pemerintahan presiden Soekarno. Politik pemerintah yang memperhatikan keolahragaan dan menetapkannya menjadi urusan pemerintah membuat pembinaan olahraga akan menjadi lebih mantap.
Menurut M.F. Siregar (2008) dalam wawancara penelitian:
“Kemauan politik di zaman Bung Karno untuk membangun olahraga diimplementasikan oleh menteri-menteri dan masyarakat.” [Sumber: Wawancara dengan teknokrat olahraga Indonesia, M.F. Siregar pada periode Maret dan April 2008 di Wisma Karsa Pemuda, Senayan, Jakarta.]
Olahraga diyakini bisa membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik. Pada periode ini olahraga banyak mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah berharap olahraga dapat menjunjung prestise negara dalam menyelenggarakan pekan olahraga internasional. Penyelenggaraan Asian Games di Jakarta adalah pangkal tolak kegiatan olahraga ‘terpimpin’ di Indonesia. [Sumber: Rusli Lutan, "Indonesia and the Asian Games: Sport, Nationalism and the ‘New Order," Sport in Society, Volume 8, Issue 3 September 2005 , hh.414 – 424.]
Pada 18 Desember 1963 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 263/1963 supaya prestasi olahraga Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ditingkatkan sampai pada taraf internasional setinggi-tingginya. Keputusan itu pada dasarnya adalah suatu komando kepada seluruh rakyat Indonesia supaya menjadi sportminded dan ikut serta aktif dalam kegiatan olahraga yang merupakan bagian penting dari revolusi Indonesia.