Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
13 akan berakhir di Meksiko. Stadion Azteca untuk kedua kalinya dalam 16 tahun akan menobatkan lagi sang juara baru.
Pertanyaan yang akan berkembang dalam dua hari ini pasti tidak hanya mengenai siapa yang akan merebut piala berlapis emas 18 karat setinggi 50 cm itu: Jerman Barat atau Argentina? Tapi juga: apakah pemenangnya akan ditentukan oleh adu penalti lagi?
Tiga pertandingan yang imbang dan ketat di perempat-final, memang memaksa kita berpikiran demikian. Partai Brasil-Prancis, Jerman Barat-Meksiko, dan Spanyol-Belgia belum menghasilkan pemenang sampai pertandingan diperpanjang 30 menit. Dan, adu penalti yang mendebarkan harus jadi penentu. Hanya Argentina yang mengalahkan Inggris 2-1 dalam waktu normal, sama dengan kemenangannya 2-0 atas Belgia di semi-final.
Masih bisa terjadi lima kesempatan yang diberikan kepada kedua pihak dalam adu penalti itu untuk dilaksanakan dengan baik oleh para algojonya. Dan, menurut peraturan FIFA, adu penalti akan diteruskan sampai salah satu pihak membuat kesalahan untuk keuntungan lawannya.
Mendebarkan, tapi memang tak enak buat yang kalah maupun penonton. Maka wajar kalau Wakil Ketua Federasi Sepakbola Brasil, Nabi Abi Chedid, akan memprotes cara demikian kepada FIFA. "Kemenangan harus ditentukan oleh pertandingan, bukan keberuntungan," katanya seusai pertarungan perempat-final di Guadalajara di mana Brasil kalah adu penalti 4-3 dari Prancis.
Tapi, memang belum pernah terjadi sang juara dunia ditentukan oleh adu penalti. Yang sudah ada adalah tiga kali perpanjangan waktu. Di tahun 1934 Italia akhirnya mengalahkan Cekoslowakia 2-1, di tahun 1966 Inggris akhirnya menundukkan Jerbar 4-2, dan di tahun 1978 Argentina akhirnya menaklukkan Belanda 3-1.
Entah siapa yang kelak akan tampil sebagai juara. Kini, makin sulit saja membuat ramalan. Tak heran kalau bekas bintang Peru Teofilo Cubilas tak mau lagi diwawancara mengenai perkara yang satu ini.
Tapi, siapapun yang akan menerima Piala Dunia di Azteca nanti pastilah sebuah tim dengan kekuatan fisik dan mental yang luar biasa. Kompetisi satu bulan penuh dengan persaingan yang begitu ketat memang amat membutuhkan tidak hanya ketrampilan teknis. Kondisi fisik bagai superman pun makin dituntut oleh kondisi alam Meksiko yang ganas. Oksigen udaranya amat tipis dan pertandingan berlangsung di siang hari bolong.
Brasil di Azteca 16 tahun lalu adalah sebuah tim dengan kondisi demikian. Kondisi fisik dan mental prima, keterampilan tekniknya mengagumkan semua lawan, karena di sana ada Pele, Jairzinho, Rivelino, Tostao, Gerson, Clodoaldo, Everaldo, Brito, Piazza, kapten Carlos Alberto, dan kiper Felix.
Tapi, kini tak ada lagi Brasil juga tak ada lagi Italia yang di final 1970 itu mereka gebuk 4-1. Tak ada lagi samba, tak ada lagi catenaccio ala Enzo Bearzot yang menggigit seperti empat tahun lalu. Piala Dunia 86 akan dicatat dengan tinta perunggu kalau pemenangnya ditentukan oleh adu penalti...
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 122, 27 Juni 1986)