Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Di La Liga Spanyol ada el clasico (Barcelona vs Real Madrid). Di Serie A italia ada derbi d'Italia (Inter vs Juventus). Di Ligue 1 ada le classique (PSG vs Marseille). Di Belanda pun ada duel seru de klassieker antara Ajax Amsterdam kontra Feyenoord.
De Klassieker jilid dua bisa jadi adalah satu-satunya kesempatan bagi Feyenoord menjaga asa menjadi juara Eredivisie musim ini. De Klassieker adalah kesempatan untuk anak asuh Ronald Koeman secara langsung menyakiti Ajax.
Apalagi, Ajax tengah dalam kondisi hancur lebur usai disingkirkan dari Liga Europa dengan agregat 1-6 oleh klub Swiss, Red Bull Salzburg, di babak 32 besar pada pertengahan pekan.
Kans Feyenoord untuk memenangi De Klassieker pada akhir pekan lalu itu pun dianggap lebih besar. Terlebih laga digelar di De Kuip, markas Feyenoord.
Akan tetapi, skenario ternyata tak sesuai dengan keinginan Koeman. Alih-alih menumbangkan sang tamu, Feyenoord justru dipaksa menyerah 1-2 oleh Ajax, juara bertahan Eredivisie dalam tiga musim terakhir.
Feyenoord sebetulnya bisa unggul lebih dulu lewat gol dari pemain bandel, Graziano Pelle (30’). Hanya, Ajax membalas dua kali via Kolbeinn Sigthorsson (45’) dan Joel Veltman (72’).
“Kekalahan ini sangat menyakiti kami karena saya merasa bisa dihindari. Jika kalah dari tim yang bermain lebih baik, saya bisa meneri-ma. Tapi, hari ini kasusnya tidak seperti itu,” ungkap Koemann di Rijnmond.
“Saya pikir kami sering berbuat kesalahan konyol dan menderita kebangkitan lawan sepanjang musim ini. Kami tampil oportunis, bisa membuat gol bagus, tapi kalah lagi. Rasanya seperti ditimpa palu. Atmosfer stadion dan ruang ganti juga seperti itu,” ucap Koeman.
Bukannya memangkas jarak, perbedaan keduanya di klasemen semakin lebar dan kans juara Ajax di Eredivisie musim ini semakin nyata.