Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Nostalgia Piala Thomas 1984 Di Kuala Lumpur

By Caesar Sardi - Senin, 24 Februari 2014 | 18:00 WIB
Pesta kemenangan di Kuala Lumpur tahun 1984, mungkinkah kembali terulang di Jakarta? (Dok. Mingguan BOLA)

Peristiwa di Stadion Negara Kuala Lumpur dua tahun lalu memang penuh kenangan. Kubu Indonesia yang sudah berada pada titik kritis justru mampu menggusur Cina untuk memboyong kembali Piala Thomas yang sempat dipinjam Cina selama dua tahun, 1982.

Kala itu posisi Indonesia betul-betul berada pada titik nadir. Partai tunggal pertama yang dipercayakan pada Liem Swie King dan amat diharapkan memberikan satu angka, ternyata lepas ke tangan "mesin giling" Luan Jin.

Kekalahan King seakan menjadi awal kehancuran Indonesia untuk kedua kalinya sejak di London 1983. Untunglah prinsip pantang menyerah sebelum segalanya berakhir dianut hampir seluruh pemain. Di tunggal kedua, Hastomo Arbi berhadapan dengan "tembok Cina" Han Jian yang perkasa itu. Di sinilah titik balik itu terjadi.

Di luar dugaan, Hastomo yang selama perjalanan karir bulutangkisnya tidak pernah menjuarai turnamen internasional, tampil penuh dinamika. Di set pertama ia menyerah, tapi set kedua dan ketiga berhasil diraihnya. Layak karenanya jika kegembiraan di kubu Indonesia langsung meledak.

Tidak sampai setengah jam, keadaan berubah. Icuk Sugiarto yang menempati tunggal ketiga harus mengakui keunggulan si kidal Yang Yang. Maka senyum riang manajer tim Cina waktu itu, Wang Wensiao terasa bagai tangisan bagi manajer tim Indonesia, Rudy Hartono.

Kini giliran Cina wajar sekali kalau melepaskan senyum kebanggaan. Betapa tidak, ganda milik Indonesia yang baru dua bulan sebelumnya meraih gelar juara All England, Kartono/Heryanto, tak mungkin turun lagi. Mata Heryanto mengalami cedera berat, hingga tak mungkin bisa ditampilkan.

Tidak ada jalan lain, ganda kedua Christian/Hadibowo harus dinaikkan menjadi ganda pertama. Kembali hal-hal di luar nalar manusia terjadi. Menghadapi pasangan Hee Sang-guan/Jian Guo-liang yang mengembangkan permainan cepat, Christian/Hadibowo sempat kerepotan.

Faktor kaya pengalaman Christian menjadi dominan. Permainan keras dan hajar blehh... dari Sang-guan/Guo-liang tidak dilayani. Ganda Cina ini betul-betul terpancing, pengumpulan angka susul menyusul terjadi. Set pertama yang panjang dan menguras tenaga pemain itu membuat para pendukung Indonesia terus melap keringat dingin.

Terjadi deuce. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan. Christian/Hadibowo merebut angka vital 18. Di set kedua, permainan keras Cina tidak mampu lagi dipertahankan secara konsisten dan berakhir 15-10. Kedudukan menjadi 2-2.

Ini membuat kubu Cina gelisah. Namun bukan berarti regu Indonesia sudah tenang. Pelatih Tan Joe Hok nampak begitu gusar. Sebentar-sebentar ia berdiri, tatapan matanya tidak lepas dari lapangan pertandingan.

Kekhawatiran Joe Hok cukup beralasan, sebab pasangan King/Kartono yang dipercayakan melawan ganda Cina, Tian Bingyi/Sun Zhian adalah "perjudian". Betapa tidak, keduanya belum pernah dilatih main ganda selama dalam masa persiapan di Jakarta.

Seperti pada pertarungan ganda sebelumnya, King/Kartono memang menghadapi ujian berat. Tapi ternyata pasangan baru Indonesia unggul tipis 18-14 di set pertama, dan semakin meyakinkan lagi di set kedua, 15-12. Piala Thomas pun kembali menjadi milik Indonesia.

Pesta riang dalam suasana amat riuh dari para pemain, pembina, dan suporter Indonesia seakan meledakkan stadion. Ketua Umum KONI Pusat Hamengkubuwono IX pun tak kuasa menahan luapan kegembiraannya. Menpora Abdul Gafur yang berada di panggung kehormatan juga melambaikan tangannya pertanda puas. Bagaimana "final ulangan" di Istora, Minggu malam mendatang? Mari kita tunggu saja, meski semua unsur pendukung sudah ada pada tim kita.

(Penulis: Ian Situmorang, Mingguan BOLA Edisi No. 114, 2 Mei 1986)