Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Sosok Para Arsitek Piala Dunia 1994 (1)

By Caesar Sardi - Kamis, 10 April 2014 | 20:00 WIB

drama yang akan mencuat di pentas Piala Dunia 1994.

Siapa saja orang-orang di balik layar 24 tim finalis yang akan memeras keringat sepanjang satu bulan penuh itu? Inilah sosok para arsitek itu.

Bora Milutinovic (Amerika Serikat)
Bagi Velibor Bora Milutinovic, 50, asal Serbia, ini Piala Dunia yang ketiga buat dia. Tahun 1986, Bora berada di belakang Meksiko. Di Italia 1990, Bora di balik layar Kosta Rika. Dua tugas pertamanya cukup sukses: Meksiko dan Kosta Rika dibawa Bora sampai ke perempat-final. Bagaimana AS? "Ini tugas berat," katanya singkat.

Fransisco Maturana (Kolombia)
Bagi Maturana, perkawinan keindahan dan fantasi akan menciptakan sebuah seni sepakbola. Menang atau kalah baginya adalah urusan nanti, setelah pertandingan indah berakhir. Dokter gigi ini juga dikenal dengan pola barunya: memfungsikan kiper sebagai sweeper. Tak ada yang protes.

Roy Hodgson (Swiss)
Di Swiss ia dijuluki "King Roy of England" dan "Gentleman Roy". Maklum, sejak 28 tahun terakhir, Swiss baru kembali lagi meramaikan putaran final. Roy, 47, pernah melarang para pemain Swiss untuk menikmati kehidupan seksual selama di Amerika. Belakangan, aturan itu dicabutnya.

Anghel Iordanescu (Rumania)
Dia disebut dewa penyelamat Rumania. Ketika kritis, bahkan sempat dikalahkan Ceko 5-2, ia membangun timnya dengan susah payah untuk lolos. Pada 1986, ketika main untuk Steaua Bucharest, dan menyikat Barcelona di final Piala Champions, ia berujar, "Sebagai pemain aku telah mati. Iordanescu kini adalah pelatih."

Carlos Alberto Parreira (Brasil)
Ia sadar kalau ia menyandang "jabatan terpanas" di Brasil, karena rakyat Brasil tak mau melihat timnya gagal. Karenanya, Parreira, 51, sekarang cuma memikirkan piala, dan piala (dunia) itu. "Saya kini tak punya waktu untuk melukis lagi," katanya. Parreira pernah memegang tim Kuwait di Spanyol 1982 dan Uni Emirat Arab di Italia 1990.

Tommy Svensson (Swedia)
Dalam tim, ia menganut sistem "satu untuk semua, dan semua untuk satu." Program latihannya terkenal dengan nama: sistem latihan cerdas. Hal-hal yang dilibatkan antara lain: makanan, istirahat yang cukup, jet-lag, aklimatisasi cuaca, dan latihan terpadu fisik dan mental. Akhir 1990, Svensson, 49, ia menggantikan Olle Nordin yang gagal menangani Swedia di Italia.

Pavel Federovich Sadyrin (Rusia)
Di lapangan, ia, 52, terkenal kalem dan modis. Tapi di luar, sifatnya dapat berubah 180 derajat. Duda dengan satu anak yang masih kecil ini awalnya dikecam banyak orang. "Pembuktian di lapangan, itu hal utama dalam tugas saya," katanya membela diri. Tahun 1990 ia ditawari jabatan pelatih nasional, tetapi ditolaknya karena alasan ikatan moral dengan klub. Bulan Juli 1992 barulah ia menerima tawaran itu.

Henri Michel (Kamerun)
Melihat gayanya, cocoklah ia menjadi pelatih. Kepulan asap rokoknya tak pernah berhenti. Rakyat Kamerun menaruh harapan besar pada pelatih asal Prancis ini. Tahun 1984 ia menjadi arsitek Prancis ketika menjadi juara Eropa, sebelum digusur Platini tahun 1988.

Berti Vogts (Jerman)
Ia dijuluki "anjing nakal", karena berani membuat keputusan dengan risiko besar. Salah satunya adalah mengubah posisi Lothar Matthaeus dari pemain tengah ke libero, dan menyuruh Andreas Moeller ke tengah. Vogts, 48, beranggapan bahwa rasa takut hanya ditemui di kegelapan, bukan di lapangan. Vogts, yang telah yatim sejak usia 13 tahun, menggantikan Beckenbauer empat tahun lalu.

Javier Clemente Lazaro (Spanyol)
Spanyol adalah gambaran pribadinya: kuat dan mantap. Baginya Spanyol harus menjadi sebuah tim yang lebih hebat daripada tim yang penuh teknik, strategi, dan fisik. Di media massa Spanyol, "perang"-nya dengan Johan Cruyff begitu diekspos. Maklum, mayoritas materi Spanyol dari Barcelona, klubnya Cruyff. Ia memegang Spanyol sejak September 1992.

Xavier Azkargorta (Bolivia)
Bayangan pertama pelatih berkumis lebat asal Spanyol ini, Bolivia adalah kegelapan. Ia sama sekali belum tahu apa-apa tentang sepakbola di negeri itu. Namun, sesuai dengan falsafah hidupnya, kepercayaan diri adalah hal terpenting dalam hidup. Falsafah itulah yang membuat Bolivia lolos ke negeri Paman Sam. Ia jadi pelatih Bolivia sejak 1992 dan setahun kemudian dinobatkan menjadi pelatih terbaik.

Kim Ho (Korsel)
"Menjadi 16 tim terbaik di dunia adalah idaman. Tapi di grup kami persaingan begitu ketat. Kami jadinya harus bersikap realistis," ujar Kim, 50. Pelatih kelahiran Tong-yong, kota kecil di bagian selatan Korsel ini tak lepas dari kritik.

bersambung

(Penulis: Tim BOLA - Laporan Khusus Piala Dunia, Mingguan BOLA Edisi No. 537, Minggu Ketiga Juni 1994)