Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Jas Merah: Sisi Lain Sejarah Sepak Bola Nasional

By Caesar Sardi - Jumat, 28 Maret 2014 | 19:00 WIB

19) menjuarai ASEAN Football Federation (AFF) pada 22 September pantas disambut suka cita. Garuda muda telah mengakhiri puasa panjang selama 22 tahun.

Ya, selama 22 tahun sepak bola Indonesia tidak pernah merasakan nikmatnya menjadi juara. Indonesia terakhir kali merasakan gelar juara terjadi pada ajang sepak bola SEA Games 1991.

Ferril Raymond Hattu dan kawan-kawan sukses menyumbangkan medali emas setelah menaklukkan Thailand melalui adu penati. Namun, setelah itu tak ada lagi gelar yang berhasil diraih oleh tim nasional sepak bola Indonesia.  

Pada ajang Piala AFF 2013, Garuda Muda berhasil menaklukkan Vietnam lewat drama adu pinalti yang berakhir  dengan skor 7-6, setelah sebelumnya bermain imbang 0-0 dalam 2 X 45 menit dan perpanjangan waktu.

Hebatnya, Tim Garuda Muda arahan pelatih Indra Sjafri ini lalu tak berlama-lama larut dalam pesta. Pada Oktober 2013, Garuda Muda kembali mencetak prestasi membanggakan dalam babak kualifikasi menuju Piala Asia Piala Asian Football Confederation (AFC) atau Piala Asia U-19 yang digelar pada 2014 di Myanmar.

Evan Dimas dkk berhasil melewati babak kualifikasi dan kemudian merebut tiket ke putaran final Piala Asia U-19 dengan hasil 100 persen. Lebih membanggakan lagi, Garuda Muda mampu mengalahkan raksasa Asia yaitu Korea Selatan yang sudah puluhan tahun tidak terkalahkan oleh kita.

***

Rasanya bukan sebuah dosa jika kemudian bangsa Indonesia berharap tim Garuda Muda akan terus mendulang prestasi yang membanggakan lagi, sampai akhirnya membawa sepak bola nasional ke puncak tertinggi yaitu bermain di ajang akbar Piala Dunia baik tingkat senior maupun junior.

Apalagi, ajang besar sekelas Piala Dunia sebenarnya bukan sesuatu yang mustahil bagi sepak bola Indonesia. Pada 1979, Garuda Muda pernah tampil di Piala Dunia U-20 di Jepang. Meski kehadiran Garuda Muda di Piala Dunia U-20 sedikit berbau keberuntungan, namun apapun alasannya kita pernah merasakannya.

Piala Dunia U-20 1979 sangat bersejarah karena pada turnamen ini lah legenda dunia asal Argentina, Diego Armando Maradona lahir. Lalu, jika ditarik ke belakang lagi, perjalanan sepak bola nasional pernah mencetak tinta emas dengan hadir di Piala Dunia 1938 di Prancis.

Sepak bola Indonesia pernah nyaris melancong ke Olimpiade Montreal 1976. Namun, ambisi terpaksa tergulung karena tiket raib digondol Korea Utara setelah menaklukkan Indonesia lewat drama adu penalti yang menyesakkan dada dengan skor 4-5.

Pupus sudah ambisi mengulang prestasi seperti 20 tahun lalu yaitu tampil di Olimpiade Melbourne 1956, di mana sepak bola Indonesia kala itu menggegerkan dunia dengan menahan “Macan Eropa” Uni Soviet dengan skor 0-0 pada babak perempatfinal Olimpiade 1956 Melbourne.

Boleh dibilang era 1950-an olah raga Indonesia mencapai masa keemasan. Setelah sepak bola menggegerkan dunia pada 1956, setahun kemudian giliran cabang olah raga bulutangkis mencapai puncak. Tan Joe Hok dan kawan-kawan merebut Piala Thomas untuk pertama kalinya pada 1957.

Tak pelak, sepak bola dan bulutangkis pada masa itu membuat nama Indonesia disegani dunia. Fakta sejarah juga mencatat bahwa etnis Tionghoa pernah memberi berkontribusi besar pada kejayaan dua olah raga tersebut, sekaligus mematahkan asumsi stereotip pada publik bahwa etnis Tionghoa tak memberi jaminan akan mengusung nasionalisme dalam penampilannya.

Inilah masa-masa indah olah raga nasional dan pembauran etnis.

***

Tak terasa usia PSSI sudah sangat tua sejak pertama kali didirikan pada 19 April 1930. Dalam usia ini mungkin sudah banyak sisi sejarah dalam perjalanan panjang sepak boloa nasional yang kini terlupakan.

Rasanya tidak salah untuk kembali menengok sejenak sejarah sepak bola nasional. Tentang motivasi, semangat, atau rasa perjuangan tinggi di masa lalu. Begitu juga tentang sisi kontribusi hebat etnis Tionghoa pada sepak bola yang kini telah lenyap dan tinggal eksis pada cabang bulutangkis.

Bung Karno pernah pernah menyerukan “Jas Merah”, yang merupakan singkatan dari  “jangan sesekali meninggalkan sejarah!”. Presiden RI pertama ini selalu berupaya mengingatkan bahwa ciri bangsa yang besar adalah selalu menghargai sejarah dan tidak pernah melupakan masa lalunya.

Buku ini mengingatkan bahwa sepak bola pernah mencapai puncak, dan seharusnya prestasi itu tak hanya dipertahankan tapi malah ditingkatkan.

(Penulis: Dedi Rinaldi, Wartawan BOLA)