Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Catatan Pojok: Jangan Meloyangkan Emas

By Caesar Sardi - Rabu, 26 Februari 2014 | 19:00 WIB

tim peserta putaran final Piala Dunia 1986 mulai berdatangan di Meksiko, kita di sini masih ribut mempersoalkan pelatih dan materi kesebelasan nasional yang akan disiapkan menghadapi Asian Games, September mendatang di Seoul.

Sepertinya, kita ini senang sekali mengurus dan membina sepakbola, olahraga yang paling populer di sini, dengan selalu ribut. Sebab, hampir boleh dibilang setiap ada pembentukan tim nasional, tak pernah luput dari silang pendapat.

Perbedaan pendapat tentu saja boleh. Tapi bukan berarti lalu harus meninggalkan obyektifitas. Celakanya lagi, ribut-ribut sekitar pembentukan tim nasional PSSI itu terjadi karena ada kenyataan yang ingin dicampakkan. Ada pihak yang mau meloyangkan emas dan mengemaskan loyang.

***

Api yang menimbulkan asap keributan adalah PSSI sendiri, yang melalui surat keputusan pengurus harian mengangkat Bertje Matulapelwa sebagai pelatih tim nasional. Di sini PSSI dinilai terlalu gegabah menunjuk Bertje, karena ada figur yang dianggap oleh ahli-ahli sepakbola kita lebih baik dari pelatih klub Galatama Pelita Jaya itu.

Persoalan makin melebar ketika pemanggilan pemain untuk tim A dan B dinilai kurang fair. Misalnya, ada beberapa nama yang dianggap masih terbaik di negeri ini pada posisinya, justru tidak dipanggil.

Melihat gejolak-gejolak yang timbul sekarang ini di sekitar tim nasional, saya jadi teringat ucapan penasihat teknis PSSI Yunior Bukhard Pape, betapa mudahnya predikat pelatih dan pemain nasional diberikan di sini. Seakan-akan, semua pelatih bisa dengan mudah melatih tim nasional. Setiap pemain pun dapat masuk kesebelasan nasional tanpa kesulitan.

Kemudahan semacam ini jelas tidak dijumpai di negara-negara yang prestasi sepakbolanya sudah tinggi. Contohnya, ketika Argentina menjadi tuan rumah Piala Dunia 1978, pelatih Cesar Menotti walaupun melihat kehebatan Maradona, tapi tidak langsung merekrutnya dalam tim nasional. Maradona harus menunggu satu Piala Dunia lagi, empat tahun kemudian di Spanyol.

Seandainya saja pengurus harian PSSI tidak gegabah, mau berpikir dengan tenang, memandang secara luas, saya kira persoalan yang meresahkan setiap ada pembentukan tim nasional itu tak akan terulang lagi.

***

Bila saja kita mau melihat kenyataan, mengatakan emas adalah emas dan loyang tetap loyang, saya kira pembentukan tim nasional tidak serepot sekarang.

Tenaga dan pikiran tak akan terpecah untuk berpolemik, bahkan sebaliknya apa yang dikerjakan mendapat dukungan sepenuhnya dari semua pihak yang melibatkan diri dalam pembinaan sepakbola di negeri ini.

Sayang, pengurus PSSI seperti menutup mata terhadap kenyataan, tidak mau belajar dari pengalaman-pengalaman lampau dan kembali mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat orang-orang sebelum mereka.

Akibatnya kita semua harus siap-siap menanggung apa yang bakal dialami tim nasional negeri ini dalam Asian Games mendatang. Memang, jelas untuk menjadi juara dalam arena semacam itu, hanyalah sebuah mimpi. Tapi minimal, kita harus berusaha menghindari terulangnya pencemaran nama baik Indonesia, seperti apa yang terjadi di SEA Games Bangkok, kalah 7-0 dari Muangthai.

Kalau sampai hal ini terjadi lagi, bukan pengurus harian PSSI atau Bertje Matulapelwa yang terhina. Kotoran itu akan menempel pada muka seluruh rakyat negeri ini. Bila peristiwa semacam di Bangkok terulang lagi, apakah masih bisa dikatakan pengurus PSSI sekarang ini berhasil? Ah, moga-moga saja ada bedanya antara Bangkok dan Seoul.

(Penulis: Sam Lantang, Mingguan BOLA Edisi No. 16, 16 Mei 1986)