Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Pesta Untuk Maradona Dan Argentina (2)

By Caesar Sardi - Senin, 10 Maret 2014 | 18:50 WIB
Diego Armando Maradona, sang superstar. (Dok. Mingguan BOLA)

Merombak tradisi memang tidak mudah. Sama sulitnya dengan membuat sejarah. Maka, final Piala Dunia 86 di Stadion Azteca Meksiko hari Minggu lalu hanya merupakan lanjutan dari tradisi Piala Dunia sejak 1930: tidak satu pun tim dari benua lain yang mampu merebut gelar di benua Amerika.

Ada harapan lain yang tidak menjadi kenyataan. Sejumlah pengamat mengiringi sukses Argentina yang tak terkalahkan hingga semi final itu dengan kritik bahwa penampilan mereka ibarat pertunjukan sebuah band dengan satu pemain, <aradona. "one man show" kata mereka, bahkan saya cenderung menyebutnya "one leg show" karena kekuatan Maradona lebih bertumpu pada kaki kirinya.

Tapi, di final Minggu siang itu, di bawah udara sejuk dan kelembaban yang tak terlalu tipis, Argentina adalah sebuah tim yang padu dari sebelas pemain. Mereka bukan sebuah band yang dihidupkan oleh seorang pemain. Semua pemain memainkan peranannya, walau Maradona memang seorang solis yang jempolan. Ia juga dirigen yang menentukan tempo dan irama permainan tanpa ingin menjadi guru.

Sentuhan Maradona

Maradona, menurut saya, bahkan terlalu banyak menahan diri demi kepentingan tim, demi tanggung jawabnya bagi seluruh anggota kesebelasan, dan kubu Argentina, dengan resikonya.

Baru satu menit wasit Brasil Romualdo Arppi Filho memulai pertandingan, Maradona bahkan sudah disoraki penonton karena gagal menguasai bola pertamanya dalam tekanan lawan. Tapi, masih di menit itu Maradona pula yang mematahkan tendangan penjuru pertama Jerbar dengan tandukan kepalanya. Lima belas menit kemudian Jerbar memperoleh tendangan bebas tepat di garis kotak penalti Argentina, dan Maradona termasuk di antara enam pemain yang menjadi tembok di depan kiper Nery Alberto Pumpido. Tak hanya itu, Maradona terpaksa harus menerima kartu kuning pertama karena dianggap memperlambat permainan.

Tanggung jawab besar atas kepentingan tim itu juga dibuktikan Maradona dengan cara mainnya yang berbeda dari biasanya. Sembari sadar bahwa ia terus dalam kawalan ketat gelandang Mathaeus, Maradona lebih sering menjadikan dirinya sebagai tembok. Ia lebih sering memainkan teknik sekali sentuh, tapi amat efektif karena timing dan pengarahannya yang amat akurat.

Teknik itu pula yang membuahkan gol kedua Argentina pada menit 55. Sentuhan Maradona di lapangan tengah berlanjut menjadi serangan balik yang tajam di kaki penyerang Hector Enrique. Dan, pemain sayap Valdano menjadikannya lebih berbahaya di kotak penalti, apalagi ia begitu tenang menghadapi songsongan kiper Harald Schumacher sebelum menembak silang ke gawang yang kosong.

bersambung

(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 123, 4 Juli 1986)