Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Catatan Pojok: Pesona Piala Dunia

By Caesar Sardi - Jumat, 28 Februari 2014 | 20:30 WIB

gila pada Piala Dunia? Kenapa mereka begitu menanti-nantikannya? Seperti sekarang ini, masyarakat dunia bagai tak sabar menunggu berlangsungnya putaran final di Meksiko?

Jangan tanya pada orang Brasil, negeri pertama yang pernah tiga kali juara dunia. Di sana, Februari lalu, pengumuman susunan kabinet oleh Presiden Jose Sarnay hanya dimuat pada halaman 3 surat kabar terkemuka Journaldo Brasil. Tapi pengumuman Tele Santana mengenai susunan pemain Piala Dunia-nya ke Meksiko diungkapkan besar-besaran di halaman 1.

"Sepakbola bagi rakyat kami bukan sekadar olahraga lagi. Sudah jadi agama," kata Rogerio Achilles, penyiar olahraga sebuah stasion radio di Sao Paulo seperti ditulis Time minggu ini.

Para politisi di Spanyol yang tengah berkampanye untuk pemilu 22 Juni mendatang, sadar sekali untuk tidak mencari simpati publik pada hari-hari pertandingan Piala Dunia. Daripada kampanye tanpa massa?

November lalu ketika Irak memastikan direbutnya tiket Asia ke Meksiko dengan menundukkan musuh bebuyutan Syria, para serdadunya di perbatasan Iran merayakannya dengan cara khas: pesta bunga api dengan peluru-peluru pencari jejak di malam hari.

Denis Law, salah seorang pemain legendaris Skotlandia, kita dengar pendapatnya yang mungkin lebih "logis" beberapa hari lalu lewat program menyongsong Piala Dunia 86 yang disiarkan TVRI Minggu siang. "Piala Dunia adalah creamnya sepakbola," begitu katanya antara lain.

Memang hanya tim-tim elit bisa tampil dalam putaran final. Dan mereka memperoleh tiketnya ke sana dengan perjuangan yang tak ringan. Kecuali Italia dan Meksiko yang otomatis memperoleh haknya sebagal juara bertahan dan tuan rumah. 22 negara lainnya harus bertarung ketat dalam babak penyaringan yang diikuti tak kurang dari 121 peserta.

Sebagai pesta sepakbola terbesar dengan tim-tim pilihan, Piala Dunia karena itu menjanjikan pula drama, hiburan, kompetisi, frustrasi, kegagalan, sukses, progres, dan juga unsur-unsur komersial dalam skala yang besar.

Unsur-unsur drama, frustrasi, dan progres bahkan sudah tercuat pada hari-hari pemanasan, sebelum maupun setelah tim-tim peserta tiba di Meksiko. Berita tentang cederanya sejumlah pemain bintang diungkap sama lengkapnya dengan hasil-hasil pertandingan yang membersitkan suka maupun duka.

Semua tim memang harus mempersiapkan dirinya dengan kondisi fisik dan mental prima, karena tanpa itu mereka tak mungkin menancapkan ambisinya untuk merebut sukses. Dan sukses meraih piala berarti juga sukses merebut kenikmatan-kenikmatan besar lainnya. Setiap pemain Italia misalnya telah dijanjikan hadiah uang 115.000 dollar (sekitar Rp 120 juta) jika piala 50 cm yang berlapis emas 18 karat itu bisa mereka pertahankan.

Jumlah uang yang amat besar memang menggelimang dalam pesta empat tahun sekali ini. Meksiko sendiri, sambil diguncang gempa dan utang, harus membangun sebuah stadion baru dan sebuah press-center senilai Rp 4 milyar yang akan menampung 5.000 wartawan. Memang tidak untuk sia-sia, Meksiko akan mendapat bagian yang lumayan dari penghasilan Piata Dunia yang seluruhnya diperkirakan berjumlah Rp 90 milyar.

"Untuk reklame, Piala Dunia adalah arena terbesar, bahkan lebih besar dari Olimpiade," kata Robert Riphagen dari perusahaan elektronik raksasa Philips, seperti dikutip Newsweek. Tapi mereka juga tidak mengeluarkan ceknya untuk sia-sia. Setiap pertandingan penting Piala Dunia nanti akan disaksikan 600 Juta penonton televisi dan 14 milyar untuk seluruh 52 pertandingan.

Piala Dunia memang arena yang serba besar, megah, dan meriah. Sebuah pesona yang istimewa. Sebuah extravaganza. Malangnya, kita di sini tak bisa menikmatinya sebesar kebanyakan negara lain. Tim PSSI kita kembali gagal dalam penyisihan, dan TVRI konon hanya akan menyiarkan langsung satu pertandingan saja. Oh!

(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 118, 30 Mei 1986)