Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Liga Selection Seharusnya Pilihan Utama Timnas

By Caesar Sardi - Senin, 17 Februari 2014 | 14:03 WIB
Gelandang PSIS, Ahmad Muhariya (putih), salah satu dari 25 pilihan divisi utama. (Dok. Mingguan BOLA)

Dua puluh lima pemain dari divisi utama PSSI Perserikatan dipanggil untuk tim nasional. Namun manajer tim, Wahab Abdi, menjelaskan pemanggilan itu sekadar untuk seleksi saja dan bukan suatu kepastian. Kelengkapan tim akan dilakukan setelah Galatama memutar Piala Liga yang kembali diundur masa edarnya menjadi 4April dari rencana semula 15 Maret 1986.

"Kita harus akan membentuk tim nasional dengan para pemain terbaik. Untuk itu, kita harus menunggu para pemain Galatama," kata Wahab di hadapan para wartawan, Senin sore di sekretariat Liga.

Wahab sendiri mengakui, para pemain yang ada dalam Galatama memiliki berbagai kelebihan dibanding pemain Perserikatan. Untuk itu, ia bersama pelatih Bertje Matulapelwa dan asisten Sarman Panggabean perlu melakukan pencarian pemain lagi.

Tepatkah langkah yang dilakukan trio tersebut untuk membentuk tim nasional? Inilah yang harus kita jabarkan secara jujur, agar peristiwa lama yang memilukan tidak lagi menimpa kita. Untuk itu, rasanya kita perlu melapangkan dada dan tidak saling curiga.

Bubar

Menarik pelajaran dari pengalaman masa lalu, rasanya garis tersebut kurang tepat, meskipun Wahab dan PSSI sudah mengisyaratkan bahwa tim ditargetkan untuk Asian Games, September mendatang di Seoul, Korsel, tetapi sasaran utamanya adalah SEA Games 1987, Jakarta.

Isyarat tersebut memang memberikan ruang gerak cukup leluasa. Tim yang akan dipoles Bertje dan Sarman itu artinya punya cukup banyak waktu untuk diaduk dan dipoles sehingga "mapan" di kemudian hari. Dan, Bertje sendiri mengatakan, pihaknya sudah mengetengahkan hal tersebut pada ketua umum PSSI. "Pak Kardono sudah mengerti. Beliau tidak memberikan target apa-apa pada saya dan Sarman untuk Asian Games Seoul itu," kata Bertje pada BOLA.

Namun, marilah kita menoleh sejenak ke belakang, ke beberapa peristiwa yang juga berawal seperti itu. Masih ingat kasus PSSI B yang ditangani Ipong Silalahi dan Eddy Sofyan dalam Piala Merlion, Singapura? Ketua umum jelas-jelas mengatakan, tim yang digarap amat singkat oleh duet pelatih itu tidak dibebani target apa-apa. Tapi, setelah runtuh 10-1 melawan Yugoslavia, berjatuhanlah vonis tak seimbang yang akhirnya menyebabkan tim tersebut bubar.

Padahal, sudah jelas, ketika itu PSSI mencanangkan tim B sebagai wadah transisi bagi para pemain nasional sebelum bergabung dengan tim senior. Tetapi, kenyataannya, gambar yang semula sudah dibuat dengan kerangka jelas itu oleh Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes dalam papan programnya, akhirnya berantakan tak tentu rimbanya.

Begitu pula dengan tim SEA Games yang digarap Harry Tjong, Bertje, dan Solekan. Sebelumnya juga PSSI telah menjadwalkannya sebagai tim nasional untuk Asian Games, dengan ketentuan di SEA Games Bangkok Desember 85 itu, PSSI hanya menargetkannya masuk semi-final. Harry Tjong sendiri berhasil membawa tim itu masuk semi-flnal. Tetapi setelah kalah menyakitkan 0-7 dari Muangthai, tim itu juga akhirnya menerima vonis tak adil yang membuatnya bubar.

Jenuh

Berangkat dari hal itu, kita rasanya perlu kembali mengkajinya. Persoalannya, tim nasional yang akan kita bentuk itu jangan sampai selalu kembali lagi dari nol dan langkah kita menjadi sia-sia. Sudah terlalu lama kita terlena dengan kemelut sendiri dan telah lama pula kita kehilangan prestasi.

Tidak hanya itu, secara psikologis para pemain yang dipanggil untuk seleksi tersebut sudah berada pada titik optimal. Titik jenuh. Mereka sudah bermain sebulan penuh dengan meninggalkan segala kegiatan lainnya. Dengan kondisi yang seperti itu, sebenarnya apa langkah yang perlu ditempuh?

Ini erat kaitannya dengan sasaran-sasaran antara yang akan dihadapi tim tersebut. Vonis masyarakat sepakbola yang memang sudah haus dengan prestasi, pasti tak terelakkan. Mereka tak mau tahu apakah itu hanya sasaran antara atau bukan. Kegagalan tetap merupakan ganjalan yang tak mengenakkan. Lebih dari itu, PSSI sendiri selalu goyah dengan berbagai keputusannya.

Jadi, alangkah sia-sia langkah yang telah dibuat itu jika akhirnya harus kembali dari nol. Padahal, jika pembinaan itu dilakukan secara terus-menerus selama satu tahun, maka apa yang kita harapkan di tahun 1987 pasti akan lebih baik.

Tanpa ingin memberikan penilaian lebih kepada satu pihak, seharusnya pandangan mata PSSI sekarang ini ditujukan pada tim Galatama Selection yang dipegang Danurwindo. Tim yang jelas beranggotakan para pemain muda potensial hanya perlu dibenahi beberapa saat lagi. Tidak perlu membuang waktu dan tanpa perlu mereka-reka serta meraba-raba lagi.

Untuk mematangkannya, kita hanya perlu terus mengasah setiap pemainnya. Wadah itu sendiri telah tersedia, yakni Piala Liga dan kompetisi Galatama 1986-87. Untuk kekompakan tim, kita hanya perlu menerjunkan mereka ke beberapa turnamen internasional dan pertandingan internasional lainnya.

Pilihan Utama

Kembali pada tim yang akan dibentuk Bertje dan Sarman, ini jelas harus merangkak dan meraba lagi dari nol. Belum lagi kemungkinan timbulnya kejadian yang serba tiba-tiba yang bisa saja menjadi penghalang. Dengan ini, tentu saja tidak ada maksud ingin mengecilkan kemampuan para pemain Perserikatan dalam divisi utama itu, tetapi justru untuk menyelamatkannya.

Bisa saja terjadi, apa yang sebelumnya merupakan idola dalam kompetisi divisi utama, merupakan sebab kehancuran dalam tim nasional. Ini banyak contohnya. Di sinilah perlunya sikap saling terbuka dan jujur.

Sebab itu, penunjukkan tim Galatama Selection sebagai kerangka tim nasional seharusnya menjadi pilihan utama. Memang, Wahab sendiri sudah mengatakan, bukan tidak mungkin tim yang dipegang Danur itu menjadi tim nasional A dan yang dipilih Bertje menjadi tim nasional B.

Namun, persoalan sesungguhnya bukan di situ letaknya. Persoalan sebenarnya terletak pada: bagaimana caranya kita bertindak, sehingga tidak membuang-buang waktu untuk saling berdebat dan saling adu otot dalam memilih dan menentukan tim nasional.

Pengalaman hendaknya selalu menjadi guru yang terbaik, begitu kata pepatah lama. Nah, pengalaman kita sudah cukup, mengapa sekarang kita tidak berbuat lain? Sekali lagi, di sinilah kita perlu saling terbuka dan saling berlaku jujur.

Ke-25 pemain pilihan Bertje dan Sarman: Kiper: I Gusti Putu Yasa (Persebaya), Ponirin (Persija Timur), Boyke Adam (Persib); belakang: Eriyono Kasiha (PSIS), Sumardi (PSMS), Adeng Hudaya (Persib), Marzuki, Robby Maruanaya, Berty Tutuarima (Persija), Sutrisno A, Rachman Gurning (PSMS); tengah: Patar Tambunan, Tony Tanamal (Persija), Akhmad Muharya (PSIS), Sukowiyono, Robby Darwis (Persib), Yonas Sawor, Williem Marra (Perseman); depan: Mustaqim (Persebaya), Adolf Kabo, Elly Rumaropen (Perseman), Budi Wahyono, Ribut Waidi (PSIS), Jajang Nurjaman (Persib)m dan Adityo Dannadi (Persija).

(Penulis: Mahfudin Nigara, Mingguan BOLA Edisi No. 108, 21 Maret 1986)