Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Ketika Istora Senayan Menjadi Pasar Malam (1)

By Caesar Sardi - Rabu, 19 Februari 2014 | 15:00 WIB
Scheele (kiri) saat bertugas. (Dok. Mingguan BOLA)

yang kemudian terkenal dengan "Peristiwa Scheele".

Akibat, tindak-tanduk penonton yang mengacaukan suasana pertandingan final Indonesia melawan Malaysia, wasit kehormatan Herbert Scheele menghentikan pertandingan. Lalu turunlah keputusan IBF yang memindahkan tempat pertandingan lanjutan. Indonesia menampik, dan piala pun terbang ke Kuala Lumpur.

Tragedi itu di awali dengan mendaratnya empat tim yang membawa citra bulutangkis zonenya masing-masing ke Jakarta. Denmark (juara zone Eropa), Malaysia (Asia),  Amerika Serikat (Amerika) dan Jepang (Australia). Mereka akan saling berlaga untuk menentukan penantang paling tegar bagi Indonesia, pemegang gelar.

Seperti babak demi babak pertandingan yang mengalir biasa saja, final pun sebenarnya tak ada istimewanya. Namun ramalan Malaysia yang turun bagai kilat di pagi hari, hal-hal non teknis yang menggelisahkan dari kubu dan penonton Indonesia serta Pak Tua Scheele yang tak tinggal diam, melahirkan jalan peristiwa tersebut.

Kesempatan Terbaik

Begitu menghirup udara Jakarta, pimpinan tim Malaysia, Mohammad Khir Johari, mencanangkan: "Kesempatan Malaysia untuk merebut Piala Thomas tak pernah sebaik sekarang. Pemain kami cukup menyadari jika mereka tak berhasil menggondol piala tersebut tahun ini, maka kesempatan untuk berbuat demikian mungkin akan hilang untuk waktu yang lama."

Johari tampaknya telah memperhitungkan kondisi para kontestan yang terlibat dalam perebutan Piala Thomas tahun itu. Mula-mula tentang Denmark, lawan pertama mereka, yang diperkuat dua juarai All England 1967: Erland Kops dan ganda Kops/Henning Borch.

Johari tak perduli dengan tekad Kops yang akan bermain habis-habisan mengingat ini penampilannya terakhir bagi tim Denmark. Seorang "maestro" tentu ingin mundur dengan "tembakan salvo".

Kalau benar Malaysia bisa menghentikan Denmark, maka Jepang yang punya kans besar dalam pertarungan pertamanya dengan Amerika Serikat, segera akan mencoba menjegal Malaysia. Namun untuk ini pun Johari telah memperhitungkan bahwa timnya dengan "kartu as" Tan Aik Huang yang sebenarnya mulai tumpul, masih sanggup meredam sabetan para samurai Jepang.

Perhitungan Johari banyak benarnya. Denmark mereka bantai 7-2. Jepang pun seolah menjalankan tugas melindas Amerika Serikat 7-2, untuk kemudian menyerah 3-6 pada Malaysia. Apakah Johari bersungguh-sungguh memasukkan tumbangnya Indonesia dalam perhitungannya? Entahlah, yang jelas firasat buruk mulai melanda kubu tuan rumah.

Pak Harto: Kalau Kalah

Pemilihan tim Indonesia berlangsung dua tahap. Bapak memilih astronout, tahap pertama dipilih 9 dari 12 pemain pelatnas. Loloslah nama-nama Ferry Sonneville dan Eddy Yusuf (keduanya sudah 36 tahun), lalu Tan King Gwan, Tan Joe Hok, Unang AP, Mulyadi, Darmadi, Agus Susanto, sampai Rudy Hartono, si bocah yang masih setengah usia Ferry. Dalam tahap kedua, akan dipilih dua pertiganya.

Firasat buruk mulai mewujud dengan tersebarnya dua keputusan yang bertolak belakang. Usai pertemuan dengan PBSI, pimpinan pelatnas dan tokoh-tokoh olahraga, Dirjen Olahraga Soekamto Sajidiman menyatakan Ferry tak dipasang dalam tim, karena prestasinya menurun. Tapi esoknya, koran-koran memuat berita bahwa Ferry tetap dipasang.

Soekamto tentu terkejut. Setelah mencek berita tersebut, ia langsung lapor pada Presiden. Laporan Soekamto yang diakhiri analisanya bahwa Indonesia kemungkinan besar akan kalah, disimak penuh perhatian oleh Presiden. Setengah memotong, Pak Harto bertanya: "Apa benar?" Akhirnya Pak Harto membuat pilihan ini: "Kalau begitu saya tak ikut menonton. Sebagai manusia, kalau saya melihat jago-jago bulutangkis saya kalah, saya sulit menahan emosi. Jadi saya menonton lewat layar televisi saja."

Smes Terbang

Istora penuh sesak. 12.000 pasang mata hadir untuk menyaksikan rangkaian partai puncak Indonesia lawan Malaysia berikut:
1. Ferry Sonneville - Yew Cheng Hoe
2. Rudy Hartono - Tan Aik Huang
3. Unang AP/King Gwang - Ng Boon Bee/Tan Yee Khan
4. Mulyadi/Agus Susanto - Tan Aik Huang/Teh Kew San
5. Ferry Sonnevile - Tan Aik Huang
6. Rudy Hartono - Yew Cheng Hoe
7. Mulyadi - Teh Kew San
8. Mulyadi/Agus Susanto - Ng Boon Bee/Tan Yee Khan
9. Unang AP/King Gwan - Tan Aik Huang/Teh Kew San

Ferry, arsitek kemenangan Indonesia ketika pertama kali mengecup Piala Thomas, di tahun 1958 saat itu bukan Ferry yang masih perkasa. Walau tetap mengandalkan "otak", namun Ferry yang lamban sering terjebak dalam kesalahan teknis dan taktisnya sendiri. Cheng Hoe yang tak punya smes istimewa hanya menyambar lob-lob tanggung Ferry, yang jumlahnya begitu banyak dari menit ke menit Ferry menyerah 9-15 dan 7-15. Penonton jadi gusar.

Si "belia" Rudy yang turun di partai selanjutnya ternyata berhasil mempermainkan Aik Huang. Penonton beralih dari gusar, jadi berjingkrak-jingkrak. Rudy benar-benar menguasai lapangan dan hapal ke mana bola mau dihunjamkan Aik Huang. Bahkan dengan resep khusus Rudy yang mengajak lawan bermain rally kemudian dikejutkan dengan dua smes sebagai penutup. Aik Huang jadi kartu mati.

Dengan sebuah smes terbang, Rudy menghabisi Aik Huang 15-8 di set kedua.

Mungkin hanya itulah perhitungan Johari yang meleset, atau bisa juga telah diperhitungkannya sedemikian rupa. Buktinya setelah itu publik Istora hanya bisa mengejek, kecewa dan marah melihat pembantaian Malaysia. Unang AP/King Gwan kalah 6-15 dan 7-15. Mulyadi/Agus Susanto menyerah 17-16, 6-15, dan 12-15. Kedudukan sementara: Indonesia 1, Malaysia 3.

(bersambung)

(Penulis: Effendi Gazali dan Tjahjo Sasongko, Mingguan BOLA Edisi No. 111, 11 April 1986)