Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Niac Mitra Anak Bawang Di Piala Liga II

By Caesar Sardi - Senin, 24 Februari 2014 | 16:05 WIB
Donny Latuperissa, kiper Niac Mitra memetik bola lebih dulu dari tandukan kepala gelandang Tiga Berlian Rully Nerre. Dalam pertandingan semifinal tersebut Niac menang 5-4 lewat adu penalti. (Dok. Mingguan BOLA)

sisa kebesaran di masa lalu telah berhasil membunuh dua raksasa. Pertama Arseto, juara Piala Liga I. Jadi korbannya di Surabaya dalam babak penyisihan wilayah Timur dan kedua dalam semifinal, klub yang terbunuh tidak tanggung-tanggung Tiga Berlian, juara kompetisi Galatama 1985-86.

"Ini memang merupakan kejutan besar buat kami," kata Acub Zainal, Ketua Umum Niac Mitra. "Kami tak menduga sama sekali bisa mengalahkan Tiga Berlian. Soalnya di situ banyak pemain berpengalaman." katanya lagi.

"Modal kami cuma semangat. Ini sudah saya ingatkan pada Kadir, ketika acara jumpa pers dua hari lalu. Saya katakan, hati-hati kalau kami kesetanan," ujar M. Basri, pelatih merangkap manajer Niac Mitra di tempat terpisah.

Regenerasi

Melihat kondisi Niac Mitra, klub yang pernah begitu besar dalam garis edar Galatama di awal kompetisi, kita memang patut mengacungkan jempol. Betapa tidak, klub yang pernah menampung Fandi Ahmad, bintang Singapura yang kemudian dikontrak klub profesional Belanda, Groningen dan begitu banyak bintang domestik, tampil dengan wajah baru.

"Ini langkah berani dari Wenas. Ia melakukan regenerasi yang luar biasa," tukas Acub. "Yah, kira-kira dua tahun lalu ia melakukan hal tersebut. Memang hasilnya baru akan kita lihat dua tahun lagi. Namun hasil sementaranya sudah kelihatan," sambung Acub yang juga menjadi Administrator Liga.

Tapi hasil tersebut menurut Acub masih jauh dari apa yang sesungguhnya diimpikan oleh Niac. Setidaknya Niac harus kembali seperti tiga atau empat tahun lalu. "Arah ke jalan itu sudah ada. Tinggal lagi, bagaimana kita mematangkan badan ini."

Khusus untuk penonton Stadion Tambak Sari Surabaya, Niac juga berusaha untuk dicintai seperti yang lalu. "Saya melihat animo dan kecintaan masyarakat Surabaya sudah ada. Terbukti dari jumlah penonton yang kian meningkat. Memang masih terlalu jauh jika kita bandingkan dengan masa Fandi dulu. Bersabarlah.," tukas Acub dengan senyum lebar.

Fanatik

Dengan rata-rata pemain berusia 21 tahun, Niac Mitra memang pantas menumbangkan dua raksaaa itu. Sejak di Surabaya, fanatisme Niac cukup luar biasa. Mereka punya kemauan yang amat besar dan cukup kompak.

Untuk itu, seperti diakui baik oleh Acub maupun Basri, soal teknik masih belum apa-apa. Hal tersebut memang tampak sekali. Tetapi anak-anak muda tersebut mampu menyembunyikannya di balik kemauan dan semangat juangnya. Cukup fanatik.

Tak satu pun nama besar bertengger di antara 23 pemain yang ada. Kalau pun ada Donny Latuperissa, bekas kiper nasional dan Abdul Khamid jebolan PSSl Garuda, sebenarnya itu tidak membantu. Tetapi seluruhnya sekali lagi hanya karena semangat dan fanatisme saja.

Ini dibuktikan ketika mereka memaksa Tiga Berlian bertekuk lutut dalam semifinal, Rabu malam lalu. Mereka tertinggal lebih dulu, tetapi terus menggerogoti lawan sehingga lengah dan membalik keadaan untuk kemudian menyikatnya dalam adu penalti.

Kalau kondisi seperti itu terus berkembang, bukan tidak mungkin Niac akan kembali memasuki garis edar klub elit Galatama. Paling tidak untuk musim kompetisi mendatang, Niac sudah harus diperhitungkan oleh klub-klub besar. Jika tidak, mereka akan kembali menjadi korban berikutnya dari klub asal Surabaya ini.

(Penulis: Mahfudin Nigara, Mingguan BOLA Edisi No. 114, 2 Mei 1986)