Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
yang kemudian terkenal dengan "Peristiwa Scheele".
Penonton yang bubar dari Istora ribut berdesah: "Oh Tuhan, bisakah merebut empat dari lima partai esok malam?" Dan mereka bertekad selain berdoa, besok akan memberi dukungan habis-habisan.
Mulai Bikin Ulah
Pada partai pertama di malam kedua, Ferry kembali dipermainkan, kali ini oleh Aik Huang. Penonton yang tadinya siap meledak untuk mendukung, berbalik jadi mengejek berkepanjangan. Ferry menyerah lagi, dan dengan wajah lesu ia berjalan gontai ke ruang ganti. Indonesia 1 Malaysia 4. Setitik lagi habis sudah.
Rudy si bocah ajaib masuk lapangan. Penonton pun kembali berjingkrak dan menambah utas tali harapan melihat Rudy mengocok lagi seorang pemain senior Malaysia. Cheng Hoe hanya tinggal nama besar ketika dibabat permainan cantik Rudy 5-15 dan 9-15. Indonesia 2, Malaysia 4.
Giliran Mulyadi melangkah mengisi lapangan. Dia bisa jadi penyambung atau pemusnah harapan. Tekad adu nafas, adu mental baja dan adu ngotot diterjemahkan Mulyadi dalam bentuk adu rally. Smes begitu dihematnya. Sebaliknya, Kew San yang congkak ingin menghabisi, akhirnya malah kehabisan bensin dan takluk 15-18 dan 4-15. Penonton makin berjingkrak dan mengejek pemain Malaysia dalam cara apa saja. Indonesia 3, Malaysia 4.
Tibalah pertarungan sektor ganda. Penonton sadar di sinilah Indonesia kemarin dibantai. Tampaknya malam ini juga akan begitu. Lihat, Boon Bee/Yee Khan menghabisi Mulyadi/Agus 15-2 di set pertama.
Dan pada set kedua ketika pasangan Indonesia tertinggal 2-10, entah siapa yang mulai, penonton mencoba formula baru. Mereka berteriak tak karuan tak hanya saat pemain Malaysia memukul bola, tapi juga saat mereka melakukan servis. Formula ini tampaknya berhasil. Mulyadi/Agus makin maju mengejar, sampai 11-11.
Huuuuu...!
Suasana kacau itu terus berlangsung, dan Scheele mulai gelisah. Mondar-mandir. Melalui beberapa petugas pertandingan, dia berusaha memanggil Ketua PBSI Padmo Sumasto. Tak berhasil. Dia beralih berdiri di samping wasit. Lalu mondar-mandir lagi dengan wajah tak sedap.
Kemudian, dengan gaya yang menusuk perasaan orang Timur, tangan kiri Scheele berkecak pinggang, tangan kanannya melambai ke tribun kehormatan. Mungkin maksudnya memanggil Ketua PBSI. Tapi di tribun itu yang duduk bukan hanya Pak Padmo, melainkan ada juga Ketua MPRS A.H. Nasution, Ketua DPR-GR, H. Sjaichu, serta Menutama Sri Sultan, dan lain-lain pejabat penting. Padmo yang merasa tak enak, tampaknya sengaja tak turun meladeni sikap congkak Scheele.
Scheele belum berhenti dengan ketidakpuasannya. Dia menghentikan pertandingan, dan bicara langsung dengan kedua pemain di lapangan. Wasit Tom Bacher dari Denmark hanya bisa menatap nanar tindakan Scheele itu.
Kemudian Scheele menuju corong. Rupanya ingin menenangkan massa yang semakin bersorak. Begitu bahasa Inggrisnya keluar dari bibir, penonton yang sudah tak suka padanya segera menimpali: "Huuuuu...!"
Bisa dimengerti, dengan dukungan penonton yang berjingkrak dan bersorak-sorak itu, ketika pertandingan dimulai lagi Mulyadi/Agus balik memimpin 12-11. Scheele yang telinganya mulai panas, masih coba bicara sejenak dengan Ferry. Konon dia menawarkan pertandingan dilanjutkan esok saja tanpa penonton. Indonesia menolak.
Set kedua yang berlangsung dalam suasana pasar malam itu akhirnya dimenangkan Mulyadi/Agus 18-13. Ini sesuai dengan harapan dan sepak terjang penonton. Tapi lain dengan harapan dan sepak terjang Scheele. Secara demonstratif ia mengenakan jasnya dan berlalu dari lapangan dengan pengawalan ketat.
Penonton makin menjadi. Banyak yang turun ke pinggir lapangan. Petugas keamanan memblokade seputar lapangan. Wartawan yang coba menyodok pun ditarik. Lagu "Indonesia Raya", "Halo-Halo Bandung", dan teriakan "Hidup!" bercampur seloka-seloka tak ramah berdentum sama kerasnya.
Para pemain Malaysia tenang saja seperti air dingin. Mereka tak mengajukan tuduhan, bahkan tadi Scheele-lah yang menghubungi Johari. Akhirnya, di kamar ganti regu Malaysia, ofisial kedua finalis berunding. Hasilnya: jam 22.45 Padmo Sumasto mengumumkan bahwa atas persetujuan bersama pertandingan malam itu dihentikan dalam keadaan "undecided" (tak diputus kalah menang). Selanjutnya akan diputuskan dalam sidang IBF.
Sportivitas
Malaysia mengusulkan hanya sisa pertandingan yang dilanjutkan, dan dilangsungkan di negara netral. Sebaliknya Indonesia minta diulang seluruh partai dengan prinsip "challenge round" 9 partai dalam 2 hari. Soal tempat, Indonesia tak sepakat dengan tempat netral. Bahkan jika Malaysia tak bersedia ke Jakarta, Indonesia siap ke Kuala Lumpur.
Alhasil sidang IBF 4 Juli di London memutuskan pertandingan partai sisa dilanjutkan di Selandia Baru bulan Oktober. Usul Indonesia tenggelam dalam voting.
Lalu seperti yang kita pelajari dalam sejarah sejak SD, PBSI menolak keputusan IBF dan dinyatakan kalah WO. Piala Thomas pun terbang, kembali ke IBF untuk disampaikan pada Malaysia.
Apa komentar Scheele atas tindakan kontroversialnya? Sehari setelah meninggalkan Jakarta, di Selandia Baru dia berbisik kepada pers bahwa ia menghentikan pertandingan tersebut karena penonton Indonesia telah mengancam akan "membunuh" pemain-pemain Malaysia.
Diuraikannya, pasangan Malaysia Boon Bee/Yee Khan yang telah memimpin 10-2 di set kedua menjadi takut dan karena itu lalu kalah. Ia sendiri mengaku ditahan di Istora dalam sebuah kamar yang dikunci dari luar sampai lewat tengah malam dan dikawal ke luar untuk menjaganya terhadap "gerombolan-gerombolan" yang sedang menunggu dia maupun pemain Malaysia di luar gedung.
Lain hari di Singapura, kepada pers Scheele memberi alasan praktis tentang tindakannya itu: "Penonton Indonesia harus diajar sportivitas dan obyektivitas. Di Jakarta tak mungkin lagi dilangsungkan pertandingan internasional!"
Kata-kata kecewa almarhum Scheele tersebut untungnya tak terbukti untuk selanjutnya. Bahkan dia sendiri banyak membantu PBSI dengan mesra untuk menjalankan banyak turnamen internasional di Jakarta sampai akhir hayatnya.
Syukurlah. Dan tentu kita akan lebih bersyukur kalau fanatisme publik kita tetap terpelihara, tapi dengan sportivitas yang tinggi. Jangan sampai terulang "peristiwa Scheele" yang sama sekali tak menguntungkan itu.
(Penulis: Effendi Gazali dan Tjahjo Sasongko, Mingguan BOLA Edisi No. 111, 11 April 1986)