Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
angka menarik dari seluruh 12 peserta.
Ada 91 pertandingan yang terselesaikan dalam waktu 43 hari sejak 28 Januari. Berarti rata-rata 2,1 pertandingan tiap harinya. Untuk itu, 5 kota telah jadi tuan rumah bagi 12 kesebelasan dari 7 provinsi yang terdapat di 3 pulau besar Indonesia. Jawa 4, Sumatera 4, Irian 2, Sulawesi, dan Kalimantan masing-masing 1 kesebelasan. Tiap kesebelasan punya jatah 15 pertandingan. Kedua finalis melengkapi tugas jadi 16 kali berlaga.
Sobur
Barangkali ada yang keberatan disatukannya seluruh hasil kompetisi ini. Antara lain karena lawan-lawan yang dihadapi berbeda (akibat pengelompokan wilayah dan pembagian enam besar-enam kecil) serta jumlah bertanding pun tak persis sama. Namun dengan batasan "divisi utama PSSI", maka usaha perbandingan ini tidaklah keluar garis. Jumlah pertandingan, pengelompokan wilayah dan klasifikasi tingkat lanjut adalah konsekuensi dari kompetisi itu sendiri.
Dari sudut pandang ini, kita bisa melihat kalau Persib memang unggul dalam banyak hal. Persib adalah kesebelasan yang menang paling banyak atas lawan-lawannya, 10 kali. Dan untaian kemenangan ini diiringi selisih gol paling bcsar: 27-7. Persib pun hanya 1 kali kalah ketika jaipongan mereka digigit Macan Kemayoran 2-3 di putaran enam besar.
Didampingi Boyke Adam, Sobur merupakan kiper yang paling sedikit memungut bola di jalanya, hanya 7 kali. Bandingkan dengan Jack Suabey cs dari Persipura yang harus melihat 31 kali lintasan bola melewati gawangnya. Acungan jempol tentunya juga pantas bagi pertahanan Persib. Sementara itu kurang lebih 400 kendaraan pendukung Persib wajar pula mendapat sebutan tersendiri sebagai suporter paling besar dan aktif dalam kompetisi antar perserikatan kali ini.
Persija
Persija yang tersisih secara dramatis, ternyata lebih baik dari Perseman. Menang 9 kali, seri 3 kali, dan kalah juga 3 kali.
Trio penyerang Adityo Darmadi, Kamaruddin Betay, dan Sanija juga membuktikan diri sebagai barisan depan paling produktif. Walau selisih gol Persija tidak lebih baik dari Persib, namun 29 gol yang mereka cetak itu berarti 15,5% dari keseluruhan 188 gol oleh 12 peserta. Bukankah ini bukti keperkasaan penyerang mereka?
Adityo Darmadi sendiri menambah semarak kehebatan penyerang Persija dengan 10 gol untuk tampil sebagai top scorer. Ironis memang kalau diingat bahwa Persija terhadang ke final justru karena kurang 1 gol lagi saja dibanding Persib.
Perseman memang tampil mengejutkan dalam kelompok enam besar. Pada hari ke-35 kompetisi, merekalah tim pertama yang memastikan diri berlenggok ke final. Namun kekalahan paling parah, 6 gol tanpa balas ketika melawan Persib, adalah juga milik mereka, di atas kekalahan terburuk kedua (1-5) ketika Persipura digulung Persebaya pada putaran pendahuluan. Seppy Hay sekaligus tercatat sebagai kiper yang paling banyak kebobolan dalam satu pertandingan.
Jago Kacamata
Kesebelasan yang sempat dianalogikan dengan PSSI SEA Games, karena tidak didukung semua pemain terbaiknya, Persebaya Surabaya, punya catatan angka tersendiri. Jumlah menang dan kalah mereka persis sama, masing-masing 6. Sedang PSM, juara tanpa mahkota tahun lalu yang kali ini bertekad mempertajam daya serang, justru hanya menghasilkan selisih gol 9-6 dari 10 pertandingan. Ini persis setengah selisih gol tahun lalu (18-12) dalam putaran awal.
Ayam Kinantan dan bekas juara bertahan PSMS masih boleh menambah predikat lain: kesebelasan yang paling banyak membuat kacamata. Ada 5 kedudukan 0-0 mereka dapat: 3 di babak awal dengan PSP, Persib dan Persija, serta 2 kali di kelompok enam besar ketika ketemu PSIS dan Persib lagi. Rekor seri 6 kali, juga dipegang Medan.
Sebaliknya dengan Persiraja, Si Rencong Aceh. Mereka cukup lugas, tak satu pun kedudukan seri mereka layani. Tampaknya menang atau kalah yang mereka pilih. Lihat catatan mereka: 5 kali menang, 0 kali seri, dan 10 kali kalah. Jadi walau Persipura menjadi juru kunci sekaligus korban selisih gol terbanyak, 18, Persiraja menemaninya sebagai pasien penyakit kalah terbanyak.
PS Bengkulu punya keberhasilan tersendiri. Dari 10 pertandingan awal merekalah yang dibungkus selisih gol terparah: 6-18. Dengan usaha kerasnya, mereka berhasil memberikan 5 "ketupat" ke jala lawan pada kelompok enam kecil. Disertai terpaksa menerima 3 "ketupat" dari serangan lawan-lawannya, selisih gol mereka beralih jadi 11-21. Ini lebih baik dari 13-31 milik Persipura.
Rambo
Angka 2, secara khas lengket dengan kesebelasan "pandeka" PSP Padang yang kini lebih populer dengan sebutan "Rambo". Aksi "Rambo" yang cukup menggelisahkan berupa "duo kali lapak" (2 pukulan) buat Solichin, wasit yang malang itu. Kapten Tukijan dan Bushendra Koto "mengeksekusi"-nya. Untuk itu, Tukijan diganjar tak boleh main sampai usai kompetisi. Bushendra bahkan diskors 2 tahun.
PSIS Semarang, walau "becek" tapi "bersih"! Dalam babak pendahuluan wilayah Timur, dari 5 pertandingannya, 3 dimenangkan PSIS ketika menaklukkan Persiba, Persipura, dan PSM, dengan syarat: lapangan becek.
PSIS boleh disebut "bersih" karena sampai berangkat ke enam besar di Senayan, PSIS-lah kesebelasan yang belum kebagian kartu kuning. Lima besar lain telah rata kebagian.
Mungkin untuk itikad baik itu, PSIS seolah mendapat berkah tak tanggung-tanggung: "Pak Ogah"-nya, Budi Wahyono, terpilih sebagai pemain harapan kompetisi tahun ini.
Wasit
Untuk pertandingan wilayah Timur dan Barat, turun tangan 24 wasit yang mulai gebrakannya dengan mewasiti 30 pertandingan dalam 8 hari putaran pertama. Berapa honornya? Rp 15.000 setiap hari, dihitung mulai satu hari sebelum pertandingan sampai satu hari sesudah pertandingan.
Jadi, untuk putaran pertama dan kedua seorang wasit bisa memperoleh honor total kurang lebih: 34 hari (28 Januari sampai dengan 28 Februari plus 2 hari tambahan) dikali Rp 15.000 = Rp 510.000. Kalau tak meleset jumlah itu, ya lumayan besar...
Namun, penghargaan dengan uang serta kecintaan terhadap profesi sebagai wasit, hampir selalu membawa resiko dalam dunia sepakbola kita. Kritikan, cercaan, protes, bahkan pemukulan sudah hal biasa. Walau begitu, masih tetap ada yang memperhatikan wasit. Walikota Padang, Syahrul Ujud sendiri datang merangkul, menyatakan penyesalan dan prihatin buat Solichin yang dikerjai anak-anak Padang.
Kartu tanda hukuman terhadap pemain adalah senjata pemungkas wasit di lapangan. John Charles, wasit yang terpilih memimpin final Persib-Perseman, merupakan yang pertama mengorek kartu dalam jumlah besar dari kantongnya, 4 sekaligus. Kartu merah pertama untuk Toto Sriyanto dari Persebaya pun turun dari kantong John Charies ini.
Tuyul
Menarik untuk mengetahui berapa kira-kira biaya persiapan sebuah tim untuk terjun dalam kompetisi divisi utama. Ambil contoh, Persiba, si muka baru yang belum kita sebut, untuk sampai ke divisi utama mereka telah melakukan perjalanan melelahkan sejak pertandingan divisi I sampai promosi dan degradasi di Cirebon. Untuk semua itu mereka menghabiskan biaya Rp 37.000.000. Mungkin pengorbanan ini setara dengan hasil akhir mereka, jadi juara enam kecil di Semarang.
Di Senayan terjadi banyak kebingungan antara karcis terjual dengan perkiraan jumlah penonton. Ketika penonton diduga sekitar 40.000, ternyata karcis terjual 34.575; waktu penonton kira-kira 25.000, terjual hanya 19.288 karcis. Kemudian untuk penonton sekitar 70.000 karcis cuma habis 47.574. Dan ketika penonton sampai kurang lebih 90.000, karcis yang laku cuma 55.000 helai. Aneh tapi nyata!
Stadion enam kecil Semarang punya masalah lain. Dengan biaya penyelenggaraan Rp 1,2 juta setiap hari, hanya diperoleh pemasukah Rp 4.505.300. Bahkan pemasukan terendah mencapai Rp 39.000 saja; 4 karcis Rp 2.000, 30 karcis Rp 1.000, dan 2 potong karcis Rp 5.000.
Tahun lalu tercatat pemasukan Rp 838.407.100 dari kompetisi antar perserikatan ini. Mau menghitung berapa angka sejenis untuk tahun ini? Entahlah, konon di PSSI ada tuyulnya. Yang pasti, PSSI mendapat hasil bersih Rp 90 juta dari malam final Persib-Perseman.
(Penulis: Effendi Gazali, Mingguan BOLA Edisi No. 108, 21 Maret 1986)