Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
anak sekarang, dianggap sebagai "jalan kae cai" jalan ke belakang saja.
Lawatan itu adalah lawatan PSSI yang kedua kali ke luar negeri. Yang pertama dilakukan tahun 1950 dalam rangka Asian Games I di New Delhi di bawah tanggung jawab dan wewenang Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Karena sifatnya resmi, segala pembiayaan dan pemeliharaan ditanggung KOI, cq pemerintah. Berlainan sekali dengan lawatan ditahun 1951 itu, yang sepenuhnya dilakukan atas prakarsa dan pembiayaan PSSI.
Bulan Mei 1951 itu kita baru satu setengah tahun keluar dari kancah revolusi fisik! Semangat masih menggebu-gebu tetapi materiil compang-camping. Demikian masyarakat kita, demikian pula PSSI. Maka dapat dibayangkan bahwa perlengkapan yang dapat disediakan PSSI bagi tim sangat sederhana, kalau tidak mau dikatakan memprihatinkan!
Kostum pertandingan memang disediakan 2 stel: baju kaos dan celana merah putih dan putih-putih dengan lambang Garuda di dada, ditambah sepasang kaos kaki merah putih. Sepatu harus sediakan pemain sendiri. Belum ada Adidas dewasa itu: sepatu bola masih dibikin tukang sepatu biasa. Yang terbaik di Jakarta adalah bikinan toko sepatu Tjang Fung di Senen, keras, berat! Sebagai pakaian seragam, ya harian ya resmi, diberikan pantalon putih dan kemeja putih lengan pendek, dengan lambang PSSI berpeniti, yang bisa dipasang-dicopot menurut keperluan. Akhirnya diberikan pula uang saku: pemain 2 dolar Amerika per hari, official 3 dolar. Ditambah ongkos kapal terbang bolak balik, cukup banyak juga PSSI harus mengeluarkan dana. Karena di luar negeri belum ada yang kenal kemampuan Indonesia, tidak bisa kita menuntut persyaratan-persyaratan yang lazim: ongkos pesawat, hotel, dan jumlah tertentu (flat guarantee) per pertandingan. PSSI-nya Singapura (SAFA) tidak mau mengambil resiko dan hanya bersedia memberikan persentasi tertentu dari hasil pertandingan: kalau tidak salah 35 persen.
Rombongan terdiri atas 15 pemain dan 4 official resmi. Ada pula suporter yang demi fasilitas didaftarkan saja sebagai official, seperti Sdr Toni Wen dan istri, Sdr Baraya, dan entah siapa lagi.
Pemain-pemainnya adalah kiper: Han Siong (Semarang); bek: Sunar (Ujungpandang), Chaeruddin (Jakarta); half: Liong Houw (Jakarta), Sidhi (Solo), Yachya (Bandung), Saderan (Surabaya); depan: Soleh (Jakarta), Machroem (Jakarta), Thee San Liong (Surabaya), Darmadi (Solo), Bhe Ing Hien (Surabaya), Aten (Jakarta), Sugiono (Semarang), dan Witarsa (Bandung). Official: Choo Seng Quee, yang baru melatih PSSI selama 2 bulan, Soekardi (Keuangan), Machmoellah (pembantu umum), dan saya sebagai manajer tim.
Ketat
Karena tidak membawa cadangan penjaga gawang, Sdr Machmoellah, bekas kiper BBSA dan Persija zaman Jepang merangkap sebagai cadangan. Disiplin rombongan dijaga ketat. Bagasi anggota rombongan, baik sewaktu berangkat maupun pulang diperiksa secara teliti, jangan sampai membawa barang terlarang. Dari 20 kg yang dimungkinkan bagi masing-masing, hanya 15 kg boleh dipakai. Sisanya yang 5 kg disediakan untuk keperluan tim: kostum, sepatu, bola, makanan seperti beberapa botol kecap, obat-obatan, dan entah apalagi. Bahkan, kita membawa amleng, palu, pool sepatu, paku kecil. Amleng itu adalah alat tukang sepatu untuk menambal sol, terbikin dari besi dan berbentuk seperti siku. Maklumlah sepatu bola dewasa itu sering lepas poolnya dan kalau itu terjadi, Sdr Machmoellah yang menjadi tukang sepatu!
Di airport Singapura rombongan dan bawaannya mendapat pemeriksaan yang sangat teliti. Singapura pada waktu itu masih merupakan koloni Inggris dan instansi-instansi Singapura dengan sendirinya takut, kalau-kalau penduduknya ketularan memberontak, seperti kita lakukan terhadap Belanda. Tapi akhirnya rombongan bisa lepas, kecuali 4 orang yang masih terus di interogasi petugas-petugas Inggris, yakni Sdr Tony Wen dan istri, Sdr Sugiono dan saya.
Sdr Tony Wen mungkin karena zaman revolusi fisik mondar-mandir ke Singapura menyelundupkan madat guna pembiayaan perwakilan-perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang sewaktu revolusi fisik belum mempunyai status resmi. Sdr Sugiono, yang namanya dalam bahasa Inggris dibaca sebagai Sujono (Soedjono) mungkin dikira Soedjono, seorang komunis yang permulaan revolusi datang dari Australia ke Indonesia. Saya sendiri mungkin karena bekas menteri yang ditakutkan akan mengorek-ngorek di Singapura. Tapi, akhirnya kami pun lepas dengan persyaratan tidak boleh keluar kota.
Gedung Pertemuan
Dengan bus yang disediakan SAFA (PSSI-nya Singapura) rombongan dibawa ke tempat penginapan yang telah diurus oleh Konsulat Jenderal dan masyarakat Indonesia di Singapura. Ternyata yang disediakan itu adalah Gedung Pertemuan masyarakat Indonesia di Singapura, bukan hotel atau losmen. Karena namanya juga gedung pertemuan, yang ada hanyalah meja bilyar, meja pingpong, meja-meja, kursi-kursi, tapi tidak ada fasilitas untuk tidur. Untuk tidur itu digelar beberapa kasur dan tikar di lantai dengan sejumlah bantal. Makanan disediakan oleh isteri-isteri masyarakat Indonesia di Singapura, ditambah kecap bawaan sendiri, tapi makannya sendiri lesehan di lantai. Hampir 2 minggu kami hidup demikian, tapi tidak ada yang mengeluh. Semangat tetap menggelora. (bersambung)
(Penulis: Kosasih Purwanegara, Ketua Umum PSSI 1967-1975; Judul Asli: Dengan PSSI Ke Luar Negeri 38 Tahun Yang Lalu; dimuat di Mingguan BOLA Edisi No. 270, Minggu Kelima April 1989)