Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Dalam sebuah kesempatan perjalanan jurnalistik, wartawan Mingguan BOLA Sumohadi Marsis, menjadi saksi mata kemenangan Liverpool atas Everton di final Piala FA '89, langsung dari Stadion Wembley London. Berikut laporannya.
Bunyi peluit panjang wasit Joe Worrall tak begitu terdengar. Suasana Stadion Wembley Sabtu sore itu sudah begitu hingar-bingar. Sebagian suporter Liverpool turun dari tribun dan beramai-ramai menyerbu lapangan, tak sabar untuk mengelu-elukan kemenangan timnya.
Dan memang, Piala FA yang paling didambakan oleh semua klub di Inggris, sore itu akhirnya kembali menjadi milik Liverpool setelah melalui perpanjangan waktu 30 menit Everton mereka taklukkan dengan angka tipis, 3-2.
Lebih tipis dibanding kemenangan 3-1 melawan tim yang sama, untuk perebutan piala yang sama, di tempat yang sama, tiga tahun
lalu.
Yang juga sama: dua dari tiga gol Liverpool kali ini dicetak oleh Ian Rush, penyerang berhidung betet yang juga memborong dua gol ke gawang Everton dalam final Piala FA 86 itu.
Tapi ada satu hal yang membedakan kemenangan Liverpool kali ini. Perbedaan yang memberi arti lebih bagi sukses itu. Yakni, tragedi Hillsborough yang menewaskan 95 suporter Liverpool dan nyaris membuat pasukan Kenny Dalglish tak mau lagi menendang bola.
Beberapa dari korban yang cedera dalam tragedi 15 April itu hadir di Wembley di atas kursi roda. Sebagian di antara mereka pun ikut menyerbu ke lapangan ketika upacara penyerahan piala dilangsungkan di Tribun Barat.
Salah satunya hanya berjarak tiga meter dari tempat duduk saya. Ia menangis dalam keharuan ketika tiga temannya membopongnya ke atas bahu.
"Thank you... Thank you..." ia seperti mengucapkan kata-kata itu ketika melihat saya memotretnya sedang menyeka air matanya dengan lengan baju kaosnya, sebuah kostum merah Liverpool dengan nomor punggung 10. Nomor yang selalu dipakai John Barnes.
Pertanyaan
Rush, Barnes, dan pasti juga John Aldridge, adalah nama-nama yang paling penting untuk disebut dalam sukses Liverpool di Sabtu sore yang sangat panas itu. (bersambung)
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 274, Minggu Keempat Mei 1989)