Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Ada dua pemain dengan inisial MS dalam tim PSMS Medan yang pekan lalu kembali tampil sebagai juara divisi utama PSSI. Dan kedua MS itulah kunci sukses PSMS mempertahankan gelarnya.
MS yang pertama adalah Mohamad Siddik. Dari kaki pemain inilah lahir kedua gol PSMS di gawang Persib Bandung dalam final yang disaksikan rekor penonton, sekitar 125.000 manusia, di Stadion Utama Senayan itu.
Dua gol Siddik di babak pertama itulah pembuka kemenangan PSMS, meski dalam babak kedua tendangan penalti Iwan Sunarya dan tandukan emas Ajat Sudrajat menyamakan kedudukan, hingga harus diperpanjang 2 x 15 menit. Skor tak berubah juga, dan pada adu penalti, muncullah MS kedua sebagai penentu.
Ia adalah Mameh Sudiono. Tampil sebagai penendang terakhir dalam kedudukan sama kuat setelah sebelumnya hanya Musimin untuk PSMS dan Ajat Sudrajat untuk Persib yang berhasil melaksanakan tugasnya. Mameh tak syak lagi adalah kunci keberhasilan PSMS. Tembakannya ke sudut kanan gawang Persib tak tercegah lompatan kiper Sobur!
Stadion megah bekas arena Asian Games 1962 itupun melcdak, bersamaan dengan luruhnya kegairahan Persib dan puluhan ribu pendukungnya. PSMS juara lagi. Gelar sebagai Perserikatan terkuat mereka perpanjang sampai kompetisi berikutnya. Prestasi yang amat pantas disambut dengan berbagai pesta - sejak dari penginapannya yang pengap di Senayan sampai tiba kembali di Medan dalam becak-becak bermotor yang memapahnya di bandar udara Polonia.
Tapi tak semua anggota tim PSMS mampu menikmati seluruh pesta kegembiraan dan kebahagiaan itu dengan hati bulat. Manajer tim Bawono, pelatih Parlin Siagian, dan kapten tim Sunardi B, memang ikut senyum dan tertawa, tapi mereka juga tak mampu menahan rasa kesalnya. Kenapa?
Memang kenyataan, kini dan dua tahun lalu keberhasilan PSMS merebut gelar juara nasional ditentukan dengan adu tendangan penalti. Tapi mereka amat berang dengan komentar sementara pihak, termasuk melalui telepon gelap, yang menyebut sukses beruntun itu semata-mata sebagai kemenangan "untung-untungan".
"Adu penalti juga membutuhkan teknik. Kalau penembaknya tak terlatih dan kiper tidak sigap, mana mungkin berhasil?" tukas Bawono.
"Adu penalti jangan disamakan dengan undian. Kalau tak percaya, tanyalah sama pelatih-pelatih kaliber dunia," sambung Parlin.
Menurut Sunardi, keberhasilan PSMS menundukkan lagi Persib itu tiada lain karena kelihaian menerapkan strategi dengan menyadari kondisi teknis, psikologis, dan dukungan suporter yang lebih kuat pada Persib. Strategi itu disusun trio Bawono-Parlin-Sunardi beberapa jam sebelum pertandingan final.
Dan disanalah kedua tokoh MS jadi kunci. Mohamad Siddik, debutan yang tampil mengecewakan dalam dua pertandingan terakhir, justru harus diturunkan. Alasannya, pelajar STO Medan yang belum dikenal ini pasti tidak diperhitungkan lawan. Memang benar, ia kurang dijaga, dan terciptalah dua gol dari kakinya.
Adapun penunjukan Mameh Sudiono sebagai penendang penalti terakhir, menurut Sunardi, karena dianggap paling fit, lantaran baru tampil di babak kedua. "Dengan strategi begini, apakah kemenangan kita untung-untungan?" tanya Sunardi.
Jawabannya, kalau begitu, mungkin hanya pada beda istilah "untung-untungan" dan "lebih beruntung". Dan keberuntungan itu adalah juga bagian dari permainan, bukan?
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA Edisi No. 53, Jumat 1 Maret 1985)