Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kerusuhan kembali mewarnai babak semifinal Kompetisi Divisi Utama Perserikatan. Banyak orang bicara tentang kelelahan pemain dan kejenuhan wasit yang mendorong terjadinya hal tersebut. Tetapi ada juga orang menuding sikap dan ulah para pendukung yang terlalu berlebihan melontarkan fanatismenya.
Malah tidak sedikit orang yang menduga, hal tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan para pemain, ofisial, dan penonton tentang aturan permainan. Sehingga apa yang menurut mereka benar tetapi tidak terwujud, lantas dijadikan sebagai landasan pelampiasan emosi.
Secara medis, dua dokter, masing-masing dr. Arie Sutopo dan dr. H.M. Torizs, memang sudah menegaskan tentang perjalanan dan kegiatan yang sudah menjurus pada pemerkosaan terhadap pemain. Akibatnya, kelelahan fisik dan mental, mengganggu konsentrasi. Jika sudah demikian, tentu saja emosi lebih banyak berbicara.
Banyak lagi praduga tentang sebab dari kerusuhan tersebut. Tetapi ada baiknya kita menarik manfaat, agar tidak terjadi lagi hal demikian di masa datang.
Manokwari
Kasus yang melibatkan pendatang baru, Manokwari, barangkali merupakan hal paling baik untuk dijadikan tolok ukur. Setidaknya di Jakarta, kesebelasan dari bumi Irian tersebut dua kali membuat kerusuhan besar, dan memaksa mereka dijemput dua kali di dalam stadion demi pengamanan.
Secara terang-terangan, banyak orang memang menuding kesebelasan tersebut bermain terlalu keras, bahkan boleh dibilang kasar. "Mereka sering membuat gerak yang secara teknis tidak boleh, tetapi tetap dilakukan. Akibatnya, mereka terus dihukum wasit dan diteror penonton," kata pelatih Persebaya, Ngurah Rai.
Ya, suka atau tidak, Manokwari memang harus mengakui kenyataan itu. Apalagi, mereka memang merupakan muka baru yang belum mengerti dan menyatu dengan masyarakat sepakbola di luar daerahnya. Tetapi, rasa tidak suka penonton tidak pantas jika harus dilontarkan dengan kata-kata ejekan yang menyakitkan.
Perbuatan itu merupakan sikap dan tindakan yang tidak simpatik sama sekali, bahkan boleh dibilang menjurus pada "sara". Hal ini jelas membuat Manokwari menjadi semakin tertekan, padahal mereka adalah bagian dari negeri dan masyarakat Indonesia juga.
"Penonton itu memang suka keterlaluan. Rasa tidak puas itu mbok dituangkan dalam bentuk lain, jangan memaki dengan kata-kata yang tidak patut didengar. Itu tidak berbudaya," ujar sekretaris umum PSSI, Nugraha Besoes, yang mendengar cemoohan penonton setelah Perseman menghadapi PSMS.
Hal ini pun sempat membuat para pemain Manokwari menjadi tertekan. "Kami ini sebangsa atau tidak dengan mereka?" tanya beberapa pemain pada BOLA yang malam tersebut berada di antara para pemain yang sedang duduk di lapangan menunggu jemputan dan pembubaran masa di luar stadion.
Pelatih Manokwari, Paul Cumming yang berasal dari Inggris mengatakan ketidakmengertiannya atas sikap penonton seperti itu. "Kenapa mesti anak-anak Manokwari dan Jayapura saja harus diteror seperti itu?" katanya setengah bertanya.
Keterlaluan memang. Tetapi ada baiknya untuk mengekang rasa emosi dan menjaga temperamen para pemain yang berasal dari tanah Irian. Kejadian seperti di atas perlu diperhatikan, agar jangan sampai terjadi tindakan diskriminasi yang membahayakan.
Apapun namanya, dari tanah paling Timur negeri kita, segudang pemain dengan bakat alamiah yang luar biasa dan mampu memberi warna tersendiri bagi dunia sepakbola nasional kita begitu banyak. Seperti dikatakan bekas bintang nasional, Sutjipto Suntoro. "Bakat mereka luar biasa. Hanya saja temperamen yang terlalu tinggi itu harus dikurangi," katanya.
Wasit
Tetapi yang tak kalah penting adalah wasit. Peranan korps baju hitam ini amat penting. Tanpa kepemimpinan yang baik dan tegas, maka temperamen yang pada dasarnya sudah begitu tinggi menjadi kian tak menentu. Sudah barang tentu menghasilkan suatu pandangan yang tak sedap. Lebih buruk lagi, menimbulkan kerusuhan antara pemain dan penonton.
Sayang memang, Manokwari muka baru yang cukup potensial harus menghadapi masalah seperti demikian. Membuat noda-noda kecil lahir dalam kompetisi tahun ini. Sementara kompetisinya sendiri berjalan tanpa perhitungan yang masak. Artinya terlalu memburu program PSSI, tanpa memperhatikan kemampuan para pemain secara medis. Padahal dalam riset yang dibuat Wahab Abdi sudah jelas, bagaimana sebenarnya tingkat kondisi dan kemampuan para pemain Indonesia.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA Edisi No. 52, Jumat 22 Februari 1985)