Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Inggris Masih Kalah dari Indonesia

By Suryo Wahono - Kamis, 28 November 2013 | 19:52 WIB
Pendukung Newcastle United di Stadion Villa Park. (Olly Greenwood/AFP)

laga di stadion negeri Ratu Elizabeth II.

Suasana stadion di sini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan atmosfer fantastis stadion di Indonesia. Antusiasme penonton Tanah Air ternyata ngangenin!
Hanya sedikit yang bisa mengalahkan perasaan menjadi bagian dari ribuan orang di dalam stadion yang bergerak dengan irama sama, mengikuti lantunan lagu sama, sembari mengibarkan bendera.
Kendati Inggris mempunyai stadion, sepak bola berkualitas, dan infrastruktur jauh lebih baik ketimbang Indonesia, menonton bola di sini terasa steril. Hal ini bukan berarti setiap laga di Inggris tanpa atmosfer istimewa, tapi ada esensi sepak bola yang hilang tanpa koreografi suporter dan nyanyian massal.
Sterilitas inilah harga yang harus ditanggung sepak bola Inggris setelah manajemen massa buruk dan desain stadion kuno menyebabkan Tragedi Hillsborough 1989, yang menewaskan 96 suporter Liverpool. Penonton sepak bola Inggris dipaksa impoten oleh keberadaan kamera CCTV, stadion murni tempat duduk, dan berbagai penalti berat yang siap melayang jika publik melangkahi protokol keamanan stadion.
Ancaman seperti hukuman seumur hidup tidak boleh menyaksikan tim kesayangan bermain memastikan bahwa tidak ada yang rela melanggar batas. Harga tiket yang mahal bagi ukuran lokal sekalipun juga memastikan bahwa hampir semua suporter duduk manis di kursi masing-masing seperti robot selama pertandingan bergulir.
Kelas menengah pun sekarang sulit membeli tiket laga. Dulu teman saya di London merupakan pemilik tiket musiman dari tahun ke tahun. Namun, sekarang tidak mampu lagi. Padahal, ia berasal dari keluarga mapan, kata Leif Weild (22), pelajar pascasarjana di Newcastle, kepada saya. Rataan tiket laga Arsenal mungkin 60 pound. Jumlah itu sama dengan gaji rata-rata per minggu di Inggris.
Dua tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi stadion kebanggaan Arsenal dan menurut saya atmosfer di sana sedikit hambar. Pendapat saya diiyakan oleh Leif. Ya, berdasarkan pengalaman, Emirates bisa jadi memiliki atmosfer stadion terburuk dari semua yang pernah saya datangi. Semua hanya duduk dan diam, ucap pemuda asal London tersebut.
Generasi Sulit
Pelajar seperti Leif adalah bagian dari generasi pemuda Eropa yang tengah menghadapi situasi pelik karena minimnya lapangan pekerjaan. Studi Eurofound menunjukkan bahwa 14 juta pemuda Eropa tengah menganggur.
Sekarang semua orang di sini minimal harus mempunyai dua gelar apabila ingin punya kesempatan bekerja. Kurang dari itu dan Anda hanya bisa berharap mendapatkan pekerjaan di lini terbawah dan hal itu pun belum terjamin, ujarnya.
Di tengah situasi seperti itu, secinta apa pun anak muda terhadap sepak bola, mereka pasti akan berpikir dua-tiga kali sebelum menonton bola. Hampir semua suporter muda yang saya tahu, misalnya, membatasi diri untuk hanya menonton pertandingan tanpa pernak-pernik lain, misalnya membeli makanan atau minuman di stadion.
Bayangkan jika situasi sama terjadi di rumah kita. Bagaimana jika sebagian besar suporter tak bisa datang ke pertandingan karena harga tiket terlalu tinggi? Bagaimana jika hanya pria atau wanita dewasa kelas menengah-atas yang bisa mempunyai akses ke stadion-stadion di Tanah Air?
Bisa diperdebatkan untung-ruginya. Mungkin mereka lebih bisa diatur ketimbang kebanyakan kelompok suporter berusia tanggung. Sebagai mahasiswa di Bandung, saya perlu setidaknya berada di Stadion Siliwangi atau Stadion Si Jalak Harupat satu setengah jam sebelum laga dimulai agar mendapatkan tempat duduk. Sebagian kursi sudah dikuasai mereka yang datang sejak pagi agar tidak perlu membayar tiket masuk.
Berdempetan dan mencium bau keringat penonton tetangga sudah menjadi santapan stadion di Tanah Air. Di Inggris, segalanya lebih teratur, bersih, mewah, dan aman. Kendati demikian, tidak ada yang bisa mengalahkan kebanggaan menyanyikan lagu hasil kreativitas suporter untuk mendukung tim lokal bersama puluhan ribu penonton lain.
Merasakan stadion berdansa mengikuti ritme goyangan para suporter adalah perasaan yang membuat kangen dan tak bisa saya lupakan. Kita boleh bangga bahwa setidaknya di satu aspek negara maju seperti Inggris tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia.
@fierzee

Suasana stadion di sini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan atmosfer fantastis stadion di Indonesia. Antusiasme penonton Tanah Air ternyata ngangenin!

Hanya sedikit yang bisa mengalahkan perasaan menjadi bagian dari ribuan orang di dalam stadion yang bergerak dengan irama sama, mengikuti lantunan lagu sama, sembari mengibarkan bendera.

Kendati Inggris mempunyai stadion, sepak bola berkualitas, dan infrastruktur jauh lebih baik ketimbang Indonesia, menonton bola di sini terasa steril. Hal ini bukan berarti setiap laga di Inggris tanpa atmosfer istimewa, tapi ada esensi sepak bola yang hilang tanpa koreografi suporter dan nyanyian massal.

Sterilitas inilah harga yang harus ditanggung sepak bola Inggris setelah manajemen massa buruk dan desain stadion kuno menyebabkan Tragedi Hillsborough 1989, yang menewaskan 96 suporter Liverpool. Penonton sepak bola Inggris dipaksa impoten oleh keberadaan kamera CCTV, stadion murni tempat duduk, dan berbagai penalti berat yang siap melayang jika publik melangkahi protokol keamanan stadion.

Ancaman seperti hukuman seumur hidup tidak boleh menyaksikan tim kesayangan bermain memastikan bahwa tidak ada yang rela melanggar batas. Harga tiket yang mahal bagi ukuran lokal sekalipun juga memastikan bahwa hampir semua suporter duduk manis di kursi masing-masing seperti robot selama pertandingan bergulir.

Kelas menengah pun sekarang sulit membeli tiket laga. Dulu teman saya di London merupakan pemilik tiket musiman dari tahun ke tahun. Namun, sekarang tidak mampu lagi. Padahal, ia berasal dari keluarga mapan, kata Leif Weild (22), pelajar pascasarjana di Newcastle, kepada saya. Rataan tiket laga Arsenal mungkin 60 pound. Jumlah itu sama dengan gaji rata-rata per minggu di Inggris.

Dua tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi stadion kebanggaan Arsenal dan menurut saya atmosfer di sana sedikit hambar. Pendapat saya diiyakan oleh Leif. Ya, berdasarkan pengalaman, Emirates bisa jadi memiliki atmosfer stadion terburuk dari semua yang pernah saya datangi. Semua hanya duduk dan diam, ucap pemuda asal London tersebut.

Generasi Sulit

Pelajar seperti Leif adalah bagian dari generasi pemuda Eropa yang tengah menghadapi situasi pelik karena minimnya lapangan pekerjaan. Studi Eurofound menunjukkan bahwa 14 juta pemuda Eropa tengah menganggur.

Sekarang semua orang di sini minimal harus mempunyai dua gelar apabila ingin punya kesempatan bekerja. Kurang dari itu dan Anda hanya bisa berharap mendapatkan pekerjaan di lini terbawah dan hal itu pun belum terjamin, ujarnya.

Di tengah situasi seperti itu, secinta apa pun anak muda terhadap sepak bola, mereka pasti akan berpikir dua-tiga kali sebelum menonton bola. Hampir semua suporter muda yang saya tahu, misalnya, membatasi diri untuk hanya menonton pertandingan tanpa pernak-pernik lain, misalnya membeli makanan atau minuman di stadion.

Bayangkan jika situasi sama terjadi di rumah kita. Bagaimana jika sebagian besar suporter tak bisa datang ke pertandingan karena harga tiket terlalu tinggi? Bagaimana jika hanya pria atau wanita dewasa kelas menengah-atas yang bisa mempunyai akses ke stadion-stadion di Tanah Air?

Bisa diperdebatkan untung-ruginya. Mungkin mereka lebih bisa diatur ketimbang kebanyakan kelompok suporter berusia tanggung. Sebagai mahasiswa di Bandung, saya perlu setidaknya berada di Stadion Siliwangi atau Stadion Si Jalak Harupat satu setengah jam sebelum laga dimulai agar mendapatkan tempat duduk. Sebagian kursi sudah dikuasai mereka yang datang sejak pagi agar tidak perlu membayar tiket masuk.

Berdempetan dan mencium bau keringat penonton tetangga sudah menjadi santapan stadion di Tanah Air. Di Inggris, segalanya lebih teratur, bersih, mewah, dan aman. Kendati demikian, tidak ada yang bisa mengalahkan kebanggaan menyanyikan lagu hasil kreativitas suporter untuk mendukung tim lokal bersama puluhan ribu penonton lain.

Merasakan stadion berdansa mengikuti ritme goyangan para suporter adalah perasaan yang membuat kangen dan tak bisa saya lupakan. Kita boleh bangga bahwa setidaknya di satu aspek negara maju seperti Inggris tidak ada apa-apanya dibandingkan Indonesia.

@fierzee

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P