Bagi masyarakat Catalan, El Clasico merupakan ajang perlawanan terhadap pemerintahan Spanyol yang diwakili Real Madrid. Kemenangan atas Madrid ibarat kemerdekaan semu bagi mereka. Jika kemenangan adalah kemerdekaan, maka Barcelona dianggap sebagai simbol perjuangan bagi publik Catalan untuk lepas dari tirani.
Setiap kali tajuk El Clasico berkumandang, Real Madrid seolah menjadi sosok antagonis dalam sebuah serial telenovela. Keidentikan Los Blancos tersebut tersemat bukan tanpa alasan.
Biang keroknya siapa lagi jika bukan karena seorang tokoh fasisme Spanyol, Jenderal Francisco Franco. Diktator kejam karena telah membunuh banyak orang demi misi mendirikan negara Spanyol. Keinginan bangsa Catalan yang ingin merdeka dan terlepas dari jajahan Spanyol yang menyulut kebencian mendalam Franco.
Sang diktator sangat menyukai Real Madrid yang dianggap sebagai perlambang Spanyol dan membenci Barcelona yang skuadnya terdiri dari orang-orang Catalan.
Pernah dalam sebuah pertandingan, Barcelona dipaksa mengalah kepada Madrid hingga kalah 1-11. Lebih tragis lagi Franco membunuh presiden Barcelona, Joseph Sunol dan membombardir markas Los Azulgrana dengan bom.
Peristiwa itu yang melatarbelakangi image antagonis Madrid di mata warga Catalan. Hingga sekarang menjelang pentas El Clasico edisi ke-222, isu politik setia mengiringi.
Kini di jaman sepak bola moderen, saat sebuah klub tidak lagi dimiliki secara eksklusif oleh satu bangsa atau golongan tertentu, nyatanya Barcelona dianggap hak milik paten warga Catalan.
Berbeda dengan Madrid yang menganggap kemenangan hanya bernilai tak lebih dari tiga poin. Bagi bangsa Catalan, kemenangan Barcelona adalah segalanya, sebab itu bagaikan obat borok yang tak pernah kering.
Pantas saja Steve McManaman mengatakan jika rivalitas Barcelona dengan Madrid berbeda dari rivalitas Liverpool dengan Manchester United, bahkan mungkin rivalitas klub di seluruh belahan bumi manapun.
Editor | : | Jaka Sutisna |
Komentar