Fanatisme terkadang memang membutakan. Pendukung rela melakukan apapun demi klub yang dicintainya. Tidak sedikit fan merelakan merajah tubuhnya sehingga semakin lekat dengan klub idolanya. Tidak sedikit pula yang akhirnya menyesal.
Salah satunya fan Manchester City, Chris Atkinson. Pada 2009, City sempat disebut-sebut akan mendaratkan Ricardo Kaka. Atkinson pun begitu yakin "Manchester Biru" bakal mendapatkan Kaka. Pria berusia 29 tahun itu lantas mengukir nama Kaka di bagian dadanya. Penyesalan pun harus dikecap Atkinson. Kaka tak pernah ke City karena gelandang Brasil itu memutuskan tetap bertahan bersama AC Milan.
Siapa mengenal Robert Nesbitt? Mungkin tak ada. Dia adalah fan fanatik Newcastle United. Terutama, Andy Cole yang merupakan pahlawan "The Magpies" pada periode 1993-1995. Apa yang dilakukannya untuk menggambarkan kecintaan terhadap Newcastle? Salah satunya menato pahanya dengan gambar Cole yang mengenakan seragam kebesaran Newcastle. Sayang tinta itu telah mengering sebelum Cole memutuskan hijrah ke Manchester United. Yang paling menyakitkan, Cole tidak pernah mengungkapkan kepindahannya.
"Kebodohan" pernah dilakukan fan Sheffield Wednesday ini. Si pendukung yang tidak ketahui namanya memutuskan menato bagian belakang punggungnya dengan lambangnya Sheffield Wednesday. Bangga dengan tato tersebut, dia menggunggah gambar tatonya tersebut dalam akun Facebook-nya. Awalnya, beberapa fan memuji karya tersebut. Akhirnya, ada beberapa pendukung klub yang jeli menyadari adanya kesalahan dalam tato tersebut. Dalam tato tersebut tertulis "Est 1877" yang mengacu kepada berdirinya klub Sheffield. Seharusnya 1867.
Sebagai penggemar fanatik Arsenal, Mark Brewer, bangga menato lengannya dengan lambang "The Gunners". Ternyata lambang klub asal kota London tersebut kerap dimodifikasi dalam waktu ke waktu. Alhasil, tato Brewer bergambar meriam yang moncongnya menghadap ke kiri terbilang sudah ketinggalan zaman. Saat ini, moncong meriam tersebut sudah menghadap ke kanan. Ada-ada saja.
Laporan: Tribunnews
Editor | : | Windu Puspa Ningtyas |
Komentar